Tafsir Al-Qur’an surat Qãf ayat 19-23, surat al-A’la ayat 14-17, dan surat al-Hadid ayat 20
“ AKHIRAT ”
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah TAFSIR
PAI 3 Kelompok IV
Dosen Pengampu:
Dr. H. Anshori, LAL, MA
Disusun oleh:
Dewi Ayu : 12.01.00.007
Rosihul Iman : 12.01.00.022
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-HIKMAH
JAKARTA
2013
Jl.
Jeruk purut No.10 Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pos: 12560
Telp:
(021) 7890521. Website: Www.staialhikmahjkt.ac.id
KATA PENGANTAR
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Segala puji bagi Allah SWT yang mengajarkan manusia melalui perantaraan
kalam yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis bisa
menyelesaikan makalah ini yang telah diamanahkan oleh bapak dosen pembimbing
sebagai tuntutan dalam proses belajar mengajar tepat pada waktu yang
ditentukan.
Makalah ini
membahas tentang “AKHIRAT dengan merujuk kepada tafsir Al-Qur’an surah Qãf ayat 19-23, surah al-A’la ayat 14-17
dan surah al-Hadid Ayat 20”. Kami dari penulis
menyadari dalam pemaparan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Dan
dari kesekian banyak kesalahan dalam makalah ini, kami berharap kerendahan hati
dari teman-teman semua, khususnya kepada bapak dosen agar kiranya dapat
memaklumi bahwa sebagai manusia biasa kami tak luput dari kesalahan. Semoga
makalah ini berguna bagi kita semua, amin amin ya rabbal ‘alamin.
Akhirnya, ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kami haturkan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini terlebih kepada bapak dosen pembimbing yang
senantiasa memberikan bimbingan dan arahannya.
Jakarta, 15 November 2013
Penyusun
Pemakalah kelompok IV
DAFTAR ISI
1. Kata pengantar
.................................................................................................
i
2. Daftar isi
...........................................................................................................
ii
3. Bab I. Pendahuluan
A. Latar belakang
...........................................................................................
1
B. Tujuan
........................................................................................................
1
C. Rumusan
masalah.......................................................................................
1
4. Bab II. Pembahasan
A. Surat Qaf
ayat 19-23..................................................................................
2
B. Surat
al-A’la ayt
14-17...............................................................................
5
C. Surat
al-Hadid ayat
20...............................................................................
9
5. Bab III. Penutup
A. Kesimpulan.................................................................................................
15
B. Kritik dan
Saran..........................................................................................
16
6. Daftar pustaka..................................................................................................
17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Percaya
kepada adanya kehidupan akhirat merupakan rukun iman yang kelima. Beriman
kepada hari akhir sesudah beriman kepada Allah SWT menunjukkan bahwa beriman
kepada adanya kehidupan di akhirat merupakan hal yang amat penting. Al-Qur’an
telah merambahkan dimensi baru terhadap studi mengenai fenomena jagad raya dan membentuk
pikiran manusia melakukan terobosan terhadap batas penghalang dari alam materi.
Al-Qur’an membimbing manusia kepada Allah dan keagungan alam semesta yang amat
luas dan mengajak manusia untuk menyelidikinya, mengungkap keajaiban dan
keghaiban, serta berusaha memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah ruah untuk
kesejahteraan hidup.
Oleh karena
itu al-Qur’an membawa manusia terhadap Allah SWT melalui ciptaan-Nya dan
realitas kongkret yang terdapat di bumi dan di langit. Inilah sesungguhnya yang
terdapat pada ilmu pengetahuan yang mana mengadakan observasi lalu menarik
hukum-hukum alam berdasarkan observasi dan eksperimen. Dengan demikian ilmu
pengetahuan dapat mengetahui tentang segala hal yang telah diciptakan oleh
Allah melalui observasi yang teliti dan terdapat hukum-hukum yang mengatur gejala
alam dan al-Qur’an menunjukkan kepada realitas intelektual yang maha besar,
yaitu Allah SWT, lewat ciptaan-Nya.
B.
Tujuan
Atas dasar
latar belakang diatas, tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1.
Dapat mendeskriminasikan aspek
pendidikan yang terkandung pada rukun iman kehidupan akhirat.
2.
Memahami konteks iman pada kehidupan
akhirat.
3.
Memahami tafsir surat yang dibahas
pada makalah ini.
C.
Rumusan
masalah
1.
Nilai pendidikan apa
yang terkandung dalam surat Qãf
ayat 19-23.
2.
Nilai pendidikan apa
yang terkandung dalam surat
al-A’lã ayat 14-17.
3.
Nilai pendidikan apa
yang terkandung dalam suratal-Hadîd ayat 20.
BAB II
PEMBAHASAN
TENTANG AKHIRAT
A.
Penafsiran dalam Al-Qur’an surat Qãf ayat 19 sampai 23
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ
ذلِكَ مَاكُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ[١٩] وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ ذلِكَ يَوْمُ الْوَعِيْدِ[٢٠] وَجَاءَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَعَهَا سَائِقٌ وَشَهِيْدٌ[٢١] لَقَدْ كُنْتَ فِيْ غَفْلَةٍ مِنْ هذَا فَكَشَفْنَاعَنْكَ غِطَآءَكَ فَبَصَرُكَ
الْيَوْمَ حَدِيْدٌ[٢٢] وَقَالَ قَرِيْنُه هذَا مَا
لَدَيَّ عَتِيْدٌ[٢٣]
Artinya : “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah
yang dahulu hendak kamu hindari [19]. Dan
ditiuplah sangkakala. Itulah hari yang diancamkan [20]. Dan
datanglah setiap orang bersama dengannya (malaikat) penggiring dan (malaikat)
saksi [21]. Sungguh, kamu dahulu lalai tentang (peristiwa) ini, maka Kami singkapkan
tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam
[22]. Dan (malaikat) yang menyertainya berkata, Inilah (catatan perbuatan) yang
ada padaku[23]”.[1]
Arti Kosa-kata
سَكْرَةُ الْمَوْتِ :
penderitaan pada saat maut terjadi atau kesulitan dan rasa perih
yang dialami seseorang beberapa saat sebelum ruhnya meninggalkan badan.
تَحِيْدُ :
menyimpang dan berpaling
الصُّوْرِ :
alat yang ditiup sehingga mengeluarkan suara keras
يَوْمُ
الْوَعِيْدِ : hari dilaksanakannya ancaman
سَائِقٌ وَشَهِيْدٌ : dua
orang malaikat, seorang diantaranya menggiring jiwa untuk
melaksanakan perintah Allah, seorang lagi menjadi saksi atas jiwa tersebut
tentang amalnya
غِطَآءَ :
tabir yang menutp mata dalam artian kecenderungan yang berlebihan
terhadap materi, kekuasaan dan aneka ajakan nafsu. Atau dengan kata lain, penghalang yang menutupi perkara-perkara
akhirat karena kelalaian dan tenggelam dalam kelezatan duniawi serta kurang memperhatikan
hal-hal akhirat.
Isi Kandungan ayat
Pada ayat-ayat sebelumnya, al-Qur’an menjelaskan tentang anggapan
orang-orang kafir yang menyatakan bahwa kebangkitan untuk memperoleh balasan
tidaklah mungkin terjadi, maka Allah membantah anggapan mereka dengan
membuktikan kekuasaannya-Nya dan ilmu-Nya. Kemudian Allah memberitahukan pula
kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan kebenaran ketika datang maut dikala
terjadinya hari kiamat.[2]
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ
بِالْحَقِّ Pada konteks ayat ini Allah
berfirman: Dan datanglah sakaratul maut, saat ruh akan meninggalkan
badan, kedatangannya itu dengan haq (pasti datang). Ini berarti setiap
orang_bahkan setiap yang bernyawa_akan mengalami sakaratul maut[3]. Dan penderitaan
ketika mati itu menyingkapkan bagimu keyakinan yang telah kamu dustakan bahwa
kebangkitan adalah hal yang tidak mungkin diragukan lagi. ذلِكَ مَاكُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ Kebenaran yang kamu hindari itu benar-benar telah datang kepadamu, maka
tidak ada tempat berlari dan tidak ada tempat berpaling, tidak ada tempat
menghindar dan tidak ada tempat untuk menyelamatkan diri. Dijelaskan dalam al-Qur’an,
bagaimana rasa sakit yang dirasakan oleh seseorang yang sedang mengalami
sakaratul maut :
وَلَوْ تَرى إِذِ الظّلِمُوْنَ فِى غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلئِكَةُ
بَاسِطُوْا أَيْدِهِمْ [الأنعام : ٩٣]
Artinya : “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu
orang-orang yang zhalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang
para malaikat memukul dengan tangannya” (QS. Al-An’am:93)[4]
Penyifatan
kehadiran sakaratul maut dengan al-haq dipahami oleh Sayyid Quthub
sebagai isyarat tentang keadaan jiwa manusia pada saat terjadinya sakaratul
maut itu. Yakni ketika itu dia akan melihat kebenaran dengan sangat
sempurna. Dia melihatnya tanpa tirai penghalang dan dia mengetahui apa yang
tadinya dia tidak ketahui serta apa yang tadinya ia ingkari, hanya saja itu
semua setelah terlambat dan tidak bermafaat lagi.
Kemudian,
Allah SWT berfirman :
وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ ذلِكَ يَوْمُ الْوَعِيْدِ
Dan setelah tiba masa kebangkitan, ditiuplah oleh malaikat Israfil sangkakala
untuk membangkitkan manusia dari kubur. Itulah hari ancaman serta hari
terpenuhinya janji.[5]
Ayat ini menyifati hari peniupan sangkakala dengan hari terlaksananya
ancaman, dan hari terpenuhinya janji. Ketika Allah SWT telah memberi izin
untk menetapkan kematian atas semua makhluk, dan menetapkan batas akhir bagi
segala urusan dunia, maka Dia akan memerintahkan malaikat Israfil untuk meniup
sangkakala. Pada saat malaikat israfil meniup sangkakala itu, maka matilah
segala yang hidup (baik yang di langit maupun yang di bumi), kecuali yang memang
dikehendaki oleh-Nya, kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka
tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).[6]
Namun, menurut hemat penulis yang paling terpenting dan yang wajib diyakini
oleh setiap muslim adalah bahwa ada waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT_yang
tidak satu makhluk pun mengetahui kapan datangnya_dimana manusia akan
dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan amal masing-masing, lalu menerima
balasan dan ganjarannya. Selanjutnya Allah berfirman;
لَقَدْ
كُنْتَ فِيْ غَفْلَةٍ مِنْ هذَا فَكَشَفْنَاعَنْكَ غِطَآءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ
حَدِيْدٌ
Ketika kematian menjemput seseorang, dikatakan kepadanya: Demi Allah, sungguh,
kamu ketika hidup di dunia dahulu berada dalam keadaan lalai
tentang (peristiwa) yang sedang kamu lihat ini, maka sekarang Kami
singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini
sangat tajam. Dengan demikian kamu benar-benar yakin.
Akan tampak oleh manusia segala sesuatu yang tidak tampak olehnya dalam
kehidupan dunia, ketika segala kesibukan dunia itu telah lepas dari mereka,
maka akan tampak olehnya seluruh perbuatannya, sehingga ia tidak melihat satu
keburukan pun, melainkan ia akan merasakan penyesalan yang amat sangat, karena
keburukannya itulah yang menyeretnya tenggelam kedalam neraka. Pada saat itulah
dikatakan kepada mereka; “wakafa binafsika al-yauma hasiba” (cukuplah dirimu
sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.)[7]
Allah SWT menjadikan kelalaian bagai tutup yang
menutupi seluruh jasad manusia atau sebagai selaput yang menutupi kedua mata
manusia, sehingga ia tidak dapat melihat suatu apapun. Maka apabila hari kiamat
terjadi, sadarlah manusia dan hilanglah kelalaian yang menutupi dirinya
sehingga ia dapat melihat kebenaran yang dahulu ia tidak dapat melihatnya.[8]
Ayat ini
menunjukkan bahwa kelak di hari Kemudian akan nampak hakikat-hakikat yang
tersembunyi dalam kehidupan dunia ini. Kalau di dunia seseorang belum melihat
malaikat, maka disana ia akan dapat melihatnya. Kalau disini banyak yang
menduga sebab-sebab lahiriah adalah faktor yang menghasilkan sesuatu, maka
disana ia akan menyadari bahwa secara penuh bahwa Allah adalah penyebab semua
sebab. “Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan apa yang kamu tidak
lihat.” (QS. al-Haqqah:38-39).
B.
Penafsiran dalam surat al-A’la ayat 14 sampai 17
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى[١٤] وَذَكَرَ اسْمَرَبِّه فَصَلّى[١٥] بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَوةَ الدُّنْيَا[١٦] وَالْأخِرَةُخَيْرٌ وَّاَبْقَى[١٧]
Artinya : “Sungguh
beruntunglah orang yang
menyucikan diri[14]. Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat[15]. Namun, kamu (orang-orang)
mengutamakan kehidupan dunia [16]. Padahal
kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal [17].[9]
Kosa-kata
اَفْلَحَ : membelah
تَزَكَّى : bersungguh-sungguh menyucikan diri
ذَكَرَ : dapat berarti menyebut dengan lidah juga menghadirkan
sesuatu dalam
benak atau memantapkan
kehadirannya.
تُؤْثِرُوْنَ : mengambil sesuatu tanpa mengambil yang lain
الدُّنْيَا : dekat atau hina
اَبْقَى : lebih kekal
Isi Kandungan ayat
Menurut Ibnu Manzhur, secara etimologi اَفْلَحَ berarti al-fawz wa an-najâh wa
al-baqâ’ fî an-na’îm (kemenangan, keberhasilan, dan kelanggengan dalam
nikmat).[10] Sihabuddin
al-Alusi mengartikannya najâ min al-makrûh wa zhafara bimâ
yarjûhu (selamat dari yang dibenci dan berhasil memperoleh apa yang
diharapkan).[11] Dalam
konteks ayat ini, al-Jazairi memaknainya sebagai fâza (berhasil);
selamat dari azab dan bahagia dengan surga.[12] Ditegaskan ayat ini,
orang yang memperoleh kemenangan dan keberhasilan itu adalah orang yang تَزَكَّى.
Kata تَزَكَّى berasal dari kata zakâ. Secara
bahasa, kata az-Zakâ’ berarti an-Namû (tumbuh).
Oleh karena itu, al-Zujaj menafsirkan frasa ini dengan memperbanyak
takwa. Alasannya, kata zâkî berartian-nâmî
al-katsîr (yang tumbuh banyak).[13] Dalam tafsir al-Mishbah, تَزَكَّى yakni “bersungguh-sungguh menyucikan diri”, bukannya mengeluarkan zakat fitrah. Abu Hayyan al-Andalusi memaknai تَزَكَّى dengan tathahhara (membersihkan
diri).[14]
Dalam
beberapa ayat, kedua kata disebutkan bersama-sama, seperti QS al-Baqarah: 232
dan at-Taubah: 103. Ibnu ‘Abbas_dalam suatu riwayat_memaknainya sebagai orang
yang membersihkan diri dari syirik.[15] Ikrimah dan Ibnu
‘Abbas_dalam riwayat lain_berpendapat bahwa orang yang membersihkan diri
adalah orang yang mengatakan kalimat lâ ilâha illal-Lâh.[16]
Menurut
Qatadah, membersihkan diri itu adalah dengan amal shalih.[17] Dalam al-Quran ada
beberapa amal shalih yang disebutkan berguna membersihkan manusia. Zakat,
misalnya, disebut dapat membersihkan dan menyucikan pelakunya.[18] Menahan pandangan dan
memelihara kemaluan dinyatakan dapat membuat pelakunya lebih suci.[19]
Ibnu
Katsir menjelaskan bahwa orang tersebut adalah orang yang membersihkan dirinya
dari akhlak yang buruk dan mengikuti apa yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya.[20] Asy-Syaukani juga
menafsirkannya, orang yang membersihkan diri dari syirik seraya mengimani Allah
SWT dan beramal dengan syari’ah-Nya.[21]
Secara
keseluruhan, dijelaskan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat ini mengandung
pengertian;
“Sungguh telah menang dan memperoleh apa
yang diinginkan orang yang membersihkan diri dari kekufuran dan maksiat
kepada Allah, mengamalkan apa yang diperintahkan Allah, dan menunaikan berbagai
kewajiban.”[22]
Hemat penulis, semua penafsiran tersebut
saling melengkapi. Intinya, orang yang menuai kesuksesan dan kemenangan adalah
orang yang membersihkan diri kekufuran, kemusyrikan dan kemaksiatan, seraya
mengimani aqidah islam dan beramal shalih dengan menta’ati syariah-Nya,
menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya dan itu semua dilakukan
ikhlas semata karena Allah SWT.
Selain itu, orang tersebut juga; وَذَكَرَ اسْمَرَبِّه فَصَلّى “dan mengingat nama Tuhannya, lalu
menunaikan shalat.” Dijelaskan al-Biqa’i dan az-Zuhaili,
bahwa dzikir kepada Allah ini meliputi hati dan lisannya.[23] Dzikir hanya kepada Allah
satu-satunya, tidak disertai kepada yang lainnya yang menjadi sekutu bagi-Nya.[24] Itu dilakukan dalam
seluruh kehidupannya, baik ketika makan dan minum; tidur maupun bangun; dalam
shalat maupun di luar shalat; berupa tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.
Adapun yang dimaksud dengan shalat dalam
frasa فَصَلّى adalah shalat lima waktu sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dan lain-lain dari Ibnu ‘Abbas. Pendapat yang
sama juga dikemukakan az-Zamakhsyari.[25]
Menurut al-Jazairi, tidak hanya shalat
wajib, namun juga shalat-shalat nafilah, seperti rawatib dan lain-lain.[26] Pendapat tersebut sejalan
dengan pendapat al-Biqa’i yang mengatakan bahwa shalat tersebut meliputi semua
shalat yang syar’iyyah. Sebab, shalat merupakan dzikir yang paling agung.
Shalat juga merupakan ibadah badan paling agung, sebagaimana zakat merupakan
ibadah harta paling agung.[27] Dalam QS. al-Mukminun:
1-2 diberitakan bahwa di antara orang yang mendapatkan al-falâh adalah
orang-orang yang khusuk dalam shalatnya.
Penjelasan
cukup menarik disampaikan oleh Fakhruddin ar-Razi. Menurutnya, ada tiga
tingkatan amal bagi orang mukallaf, dan ketiganya dijelaskan dalam ayat-ayat
ini;
Ø
Pertama:
menghilangkan aqidah yang rusak dari hati. Inilah yang dimaksudkan dengan at-tazkiyah (membersihkan
diri) pada frasa مَنْ تَزَكَّى. Pengertian
membersihkan diri di sini adalah membersihkan dari apa yang disebutkan oleh
ayat sebelumnya, yakni membersihkan dari kekufuran.
Ø
Kedua:
menghadirkan ma’rifatullâh beserta dzat, sifat, dan asma’-Nya.
Inilah yang dimaksudkan oleh frasa وَذَكَرَ اسْمَرَبِّه. Sebab, dzikir dengan hati tidak bisa dilakukan kecuali
dengan ma’rifah.
Ø
Ketiga:
menyibukkan diri dengan berkhidmat kepada-Nya. Ini ditunjukkan oleh frasa فَصَلّى. Shalat
merupakan ungkapan tawaduk dan khusuk.[28]
Allah
SWT berfirman: بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَوةَ
الدُّنْيَا “Namun,
kalian (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” Kata بَلْ berfungsi
sebagai idrâb, yakni memalingkan dari kalimat sebelumnya.
Artinya, kalian tidak melakukan tindakan yang dapat mengantarkan mereka pada
kesuksesan itu. Namun sebaliknya, justru تُؤْثِرُوْنَ dengan kehidupan dunia. Menurut al-Jazairi
juga memaknainya: Kalian lebih mendahulukan dan mengutamakan kehidupan
dunia daripada akhirat.[29] Pilihan tersebut jelas
salah. Sebab, kehidupan akhirat jauh lebih baik dan abadi.
Perhatikan firman Allah SWT selanjutnya: وَالْأخِرَةُخَيْرٌ وَّاَبْقَى “Padahal kehidupan akhirat adalah lebih
baik dan lebih kekal.”
Menurut
al-Qurthubi, kata خَيْرٌ berarti afdhal (lebih utama), sedangkan اَبْقَى berarti
adwamu min ad-Dun-yâ (lebih kekal daripada dunia).[30] Semua telah maklum, kehidupan
dunia merupakan kehidupan fana. Ketika manusia dibangkitkan di akhirat kelak,
manusia merasakan singkatnya hidup di dunia ini. Demikian singkatnya hingga
menurut mereka hidup di dunia itu hanya sehari atau setengah hari[31]; hanya sesore atau sepagi
hari[32]; atau bahkan hanya sesaat
saja di sing hari.[33] Dalam hadis yang
diriwayatkan Muslim dan at-Tirmidzi, Rasulullah SAW mengumpamakan kehidupan
dunia dibandingkan dengan akhirat seperti jari telunjuk yang dicelupkan di
laut; air yang melekat di jari itulah kenikmatan dunia.
Yang
lebih baik dan lebih kekal itu bisa dimaknai pahalanya sebagaimana dijelaskan
Ibnu Katsir. Menurutnya, maksud ayat ini adalah pahala Allah di akhirat lebih
baik dan lebih kekal. Kehidupun dunia itu rendah dan fana, sementara akhirat
mulia dan langgeng. Bagaimana mungkin orang yang berakal lebih memilih yang
fana daripada yang kekal; mementingkan apa yang segera hilang daripada kehidupan
yang kekal dan langgeng?[34]
Oleh
karena itu, ayat ini memberikan dorongan kepada manusia agar lebih memilih dan
mengutamakan akhirat daripada dunia. Menurut
penulis, hal yang demikian sejalan dengan pendapat akal yang sehat dan petunjuk
syara’.
C.
Penafsiran dalam surat al-Hadid ayat 20
إِعْلَمُوْا اَنَّمَا الْحَيَوةُ
الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِيْنَةٌ وَتَفَاخُرٌبَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى
الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَنَبَاتُهُ ثُمَّ
يَهِيْجُ فَتَرَىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِى الْاَخِرَةِ عَذَابٌ
شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَاالْحَيَوةُ الدُّنْيَآ اِلاَّ
مَتَاعُ الْغُرُوْرِ [ الحديد : ٢٠ ]
Artinya: “Ketahuilah,
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan
dan saling berbangga diantara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak
keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani;
kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian
menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari
Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan
yang palsu.”[35]
Kosa-kata
الَّعَبْ : Sesuatu yang tidak membuahkan apa-apa, seperti halnya permainan anak-
anak.
زِيْنَةٌ : Perhiasan
seperti pakaian-pakaian yang megah.
تَفَاخُرٌ :
Saling berbangga dengan nasab dan orang tua yang telah menjadi tulang
belulang yang hancur.
وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلاَدِ : Saling menyombongkan diri dengan banyaknya peralatan-
peralatan dan para pendukung.
الغَيْث
: Hujan.
الكُفَّر
: Para petani
يَهِيْجُ
: Mulai kering luluh akibat
kekeringan
الْغُرُوْرِ
: Tiupan
Isi Kandungan Ayat
Ayat di atas merupakan gambaran hakikat dunia dan
bagaimana menghadapinya. Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari
ayat tersebut, di antaranya:
- Allah SWT memberitahukan tentang hakikat dunia yang sebenarnya, dan menjelaskan tentang puncak tertinggi dari kehidupan dunia beserta penghuninya. Maksud sebenarnya dari ayat ini adalah merendahkan keadaan dunia dan mengagungkan keadaan akhirat. Yaitu Allah berfirman, “..dunia adalah permainan dan sendagurauan yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan..“. Tidak diragukan lagi bahwa semua ini adalah perkara yang hina. Adapun akhirat maka di sana ada adzab yang keras yang terus-menerus dan juga disana ada keridhaan Allah yang selamanya dan ini adalah merupakan suatu yang agung.
2.
Dunia mempunyai 5 (lima) sifat,
yaitu:
a)
لَعِبٌ (Permainan), yaitu permainan badan dan ini adalah bagaikan
perbuatan anak-anak yang menjadikan diri mereka sangat capek dan lelah,
kemudian setelah permainan tersebut selesai tidak ada faedah yang didapatkan.
b)
لَهْو (Sesuatu yang melalaikan/senda gurau), yaitu yang
membuat hati lalai dan ini adalah perbuatan orang tua yang kebanyakan setelah
perbuatan yang melalaikan itu selesai maka tidak tersisa kecuali penyesalan,
yang demikian itu dikarenakan orang yang berakal setelah melakukan perbuatan
yang melalaikan dia melihat bahwa hartanya hilang, umurnya berkurang (pergi)
dan kelezatannya habis, sementara nafsu/jiwa semakin rindu dan haus akan hal
tersebut, namun nafsu tidak mendapatkannya, sehingga terkumpul dampak buruk dan
berkesinambungan (tidak pernah puas).
c)
زِيْنَةٌ (Perhiasan), yaitu berhias dalam hal pakaian,
makanan, minuman, kendaraan, rumah, istana, kedudukan, dll.
d)
Saling berbangga di antara
kamu terhadap sifat-sifat yang fana dan pasti hilang, yakni boleh jadi
berbangga-bangga dengan nasab, kekuasaan, kekuatan, bala tentara dan
sebagainya, yang semuanya itu pasti lenyap. Dan saling berbangga di antara kamu
yaitu masing-masing dari penduduk dunia ingin membanggakan atas yang lain dan
ingin supaya dia menjadi pemenang dalam semua urusannya dan ingin mendapatkan
ketenaran (popularitas) dalam semua keadaannya.
e)
Berbangga-bangga tentang harta dan
anak, yaitu
masing-masing menginginkan lebih banyak dari yang lainnya dalam hal harta dan
anak. Semua ini hanya terjadi pada diri si pecinta dunia dan yang merasa damai dengan dunia. Hasan
Al-Bashri rahimahullah berkata; “Apabila kamu melihat orang yang
mengalahkanmu dalam perkara dunia, maka kalahkan dia dalam hal akhirat.”
3.
Allah memberikan perumpamaan dunia; كَمَثَلِ غَيْثٍ “seperti hujan” yang turun ke bumi sehingga
menjadikan bumi itu subur yang kemudian menumbuhkan tanaman yang segar, hijau,
subur dan sangat menarik lagi indah, yang menyebabkan اَعْجَبَ الْكُفَّارَنَبَاتُهُ “yang tanam-tanamannya mengagumkan
para petani” merasa kagum terhadapnya karena pandangan (obsesi)
mereka hanya terbatas pada dunia. “Kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur.” Lalu, tiba-tiba datanglah hukum
Allah yang menjadikan semua tanaman itu musnah, kering dan hancur, sehingga
seakan-akan tidak pernah ada keindahan dan pemandangan yang menarik sebelumnya.[36]
Demikianlah hakikat dunia, mula-mula penampilannya
indah lalu berubah menjadi buruk. Mula-mula anak kecil lalu tumbuh menjadi
remaja, dewasa sampai kemudian menjadi tua renta. Mula-mula kuat lalu menjadi
lemah, bahkan tidak mampu banyak bergerak dan tidak kuasa lagi kecuali sedikit
saja, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an ;
أللهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ
ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ
ضَعْفًا وَّ شَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ
Artinya : "Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan
lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah lemah itu menjadi kuat, kemudian
Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia
menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa.” (QS. ar-Rum:54)
Musnahnya
dunia pasti akan terjadi, tidak mungkin tidak. Dan akhirat itu pasti ada, tidak
mugkin tidak. Maka Allah SWT mengingatkan agar kita mewaspadai kehidupan dunia
dan menanamkan kecintaan kebaikan di dalamnya. Allah berfirman; “Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras atau ampunan dari Allah dan keridhaan-Nya....”
maksudnya
keadaan di akhirat tidak terlepas dari dua perkara ini yakni;
1) Adzab yang
keras di neraka dengan belenggunya, rantainya dan semua kedahsyatannya bagi
orang-orang yang menjadikan dunia sebagai cita-cita dan puncak tujuannya sehingga
dia berani berbuat maksiat, mendustakan ayat-ayat Allah serta kufur atas
nikmat-nikmat-Nya.[37]
2)
Ampunan dari Allah SWT terhadap
kesalahan-kesalahannya, dihilangkan semua hukuman dan mendapat keridhaan dari
Allah. Lalu tinggal di dalam surga-Nya.
وَمَاالْحَيَوةُ
الدُّنْيَآ اِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ “Dan kehidupan dunia tidak lain
hanyalah kesenangan yang palsu.” Semua kesenangan di dunia hanyalah
kesenangan yang bersifat fana, yang menipu siapa saja yang cenderung kepadanya.
Dan sesungguhnya segala kerlap-kerlip keindahan dan kesenangan dunia ini hanyalah
sesaat dan sangat kecil dibandingkan alam akhirat.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu
Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda[38]
:
مَوْضِعُ سَوْطِ فِى الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا
فِيْهَا ’ إِقْرَأُوْا: وَمَاالْحَيَوةُ الدُّنْيَآ اِلاَّ
مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Satu tempat sepanjang cambuk di surga lebih baik daripada dunia
dan seisinya, bacalah: Dan
kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.”
Namun, pada
kehidupan dunia juga ada hikmahnya dan tidak semua tercela, karena itulah Allah
berfirman kepada malaikat tentang hikmah dunia dan manusia di dunia.[39]
Jika sekiranya dunia tidak ada hikmahnya dan tidak ada benarnya maka tidak
mungkin Allah berfirman seperti itu. Hal ini dikarenakan kehidupan juga
merupakan ciptaan Allah sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Mulk: 2 dan Allah
tidak mungkin menciptakan sesuatu yang sia-sia sebagaimana dalam QS. Al-Mukminun: 115.
اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنكُمْ عَبَثًا
وَّاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لاَتُرْجَعُوْنَ.
Artinya : “Maka
apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud)
dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kapada Kami?”
Penulis
cendrung memahaminya menguraikan makna kehidupan dunia bagi mereka yang lengah_sesuai
dengan konteks ayat tersebut. Tentu saja
kehidupan dunia tidak demikian bagi yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Buat mereka, kehidupan dunia adalah perjuangan untuk meraih kesejahteraan
lahir dan bathin, dunia dan akhirat, karena hidup bukan hanya disini dan
sekarang tetapi ia bersinambungan sampai ke akhirat. Selanjutnya karena apa
yang diperoleh di akhirat, diukur dengan apa yang dilakukan dalam kehidupan
dunia ini, maka kehidupan dunia sangat berarti bahkan berharga. Jangan mencercanya apalagi mengabaikannya, karena
dunia adalah arena kebenaran bagi yang menyadari hakikatnya, ia adalah tempat
dan jalan kebahagiaan bagi yang memahaminya. Dunia adalah arena kekayaan bagi
yang menggunakannya untuk bekal perjalanan menuju
keabadian dan aneka pelajaran bagi yang merenung serta memperhatikan fenomena serta peristiwa-peristiwanya.
Ia adalah tempat mengabdi para pecinta Allah, tempat berdo’a para malaikat,
tempat turunnya wahyu bagi para nabi dan tempat curahan rahmat bagi yang taat. Sa’id bin
Jubair ra, berkata;
“Dunia yang
dikatakan sebagai kesenangan yang menipu adalah yang membuatmu lalai dari
mencari akhirat. Adapun yang tidak membuatmu lalai maka bukanlah kesenangan
yang menipu akan tetapi kesenangan yang menyampaikan kepada apa yang lebih baik
daripadanya.”
Hal ini berarti bahwa seseorang tidak dilarang
mencari dan menikmati kehidupan dunia, namun jangan melalaikan akhirat. Hal
lain yang perlu dicatat, bahwa jika seseorang hanya mementingkan kehidupan
dunia, maka yang ia peroleh hanyalah kehidupan dunia itu saja. Sedangkan jika
ia mementingkan kehidupan akhirat, maka ia akan mendapatkan dunia dan akhirat. Sebab untuk mencapai kebahagiaan
hidup di akhirat ia harus mencapai kehidupan dunia. Orang yang bersedekah atau
berinfak dijalan Allah misalnya ia harus memiliki harta. Demikian pula yang
akan menjalankan ibadah haji, juga harus memerlukan harta benda.
Sebuah maqalah berasal dari Yahya bin Mu’adz ar-Razi;
طُوْبى
لِمَنْ تَرَكَ الدُّنْيَا قَبْلَ تَتْرَكَهُ وَبَنى قَبْرَهُ قَبْل أَنْ
يَدْخُلَهُ وَأَرْضَى رَبَّهُ قَبْلَ أَنْ
يَلْقَاهُ
“Sungguh amat
beruntung orang yang meninggalkan dunia sebelum dunia meninggalkannya, orang
yang membangun kuburan sebelum ia memasukinya, dan orang yang ridha terhadap
Tuhannya sebelum ia menemui-Nya.”[40]
Maksud dari maqalah ini adalah sungguh beruntung orang
yang membelanjakan harta kekayaannya dalam bermacam-macam kebaikan sebelum ia
meninggal dunia, memperbanyak amalan ukhrawi untuk bekal di alam kubur dan
akhirat nanti, dan menjalankan segala perintah Allah serta menjauhi
larangan-larangan-Nya sebelum ia mati. Semua yang telah disebutkan di atas
adalah menjadi dalil bahwa kehidupan dunia ini tidak semuanya tercela.
Oleh karena itu,
bersegeralah menuju kepada kebaikan dengan mengerjakan keta’atan dan
meninggalkan berbagai larangan yang dapat menghapuskan dosa dan kesalahan, dan mendapatkan
pahala serta derajat yang tinggi untuk bekal kita di alam selanjutnya (akhirat)
karena kehidupan dunia ini hanya bersifat sementara (fana) dan alam akhirat itu
pasti datang dan sudah dekat juga kekal adanya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Allah SWT
memberitahukan kepada kita hamba-hamba-Nya bahwa janganlah lengah atau tertipu
oleh gemerlap hiasan duniawi yang menggiurkan, karena itu tidaklah lain
hanyalah permainan yang sia-sia. Apa yang dihasilkan tidak lain hanyalah
hal-hal yang menyenangkan hati saja juga bisa menghabiskan waktu dan pada
akhirnya mengantarkan kepada kelengahan. Maka Allah SWT menyuruh kepada kita
supaya tidak berlebihan dalam
perhiasan, bermegah-megah, juga
berbangga tentang banyaknya harta dan sukses anak keturunan diantara manusia,
karena itu bisa menimbulkan sifat dengki dan iri hati dan juga kesombongan yang
mengakibatkan persaingan tidak sehat diantara umat manusia.
Diketahui bahwa kehidupan akhirat
bersifat kekal dan kenikmatannya tidak akan pernah sirna, sedangkan kehidupan
duniawi bersifat sementara (fana) yang banyak berisi
tipu daya syaitan. Barangsiapa yang lebih cenderung mementingkan
kehidupan duniawi dan mencintai perhiasan duniawi, berarti orang tersebut tidak
membenarkan adanya kehidupan akhirat atau keimanan orang tersebut cuma sebatas ucapannya dan tidak sampai pada
hatinya. Dengan demikian, balasan pahala yang begitu besar sebagaimana
dijanjikan oleh sang Khaliq, bagi orang-orang yang beriman tidak akan sampai
kepada orang tersebut.
Adanya kehidupan
akhirat dengan berbagai permasalahannya bukanlah termasuk masalah empiris yang
dapat diobservasi, melainkan termasuk masalah yang hanya dapat di imani
berdasarkan informasi yang diberikan oleh Allah SWT. Atas dasar keyakinan ini,
maka untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang kehidupan akhirat harus
merujuk kepada informasi yang diberikan Allah di dalam al-Qur’an.
Berdasarkan
uraian di atas, terlihat bahwa keimanan terhadap hari akhirat paling tidak memiliki
empat implikasi kependidikan sebagai berikut:
Ø Pertama,
muatan pendidikan keimanan. Yakni bahwa keimanan terhadap hari akhirat
merupakan bagian terpenting dari materi pelajaran yang harus diberikan.
Ø Kedua,
implikasi materi atau muatan pendidikan akhlak sebagai hasil dari materi
pendidikan keimanan. Dengan keimanan yang kuat akan adanya hari akhirat
seseorang akan memanfaatkan kehidupannya di dunia ini untuk melakukan amal
ibadah dan perbuatan kebajikan yang sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan itu,
juga dapat mendorong seseorang untuk menjauhkan perbuatan yang tercela.
Ø Ketiga,
implikasi evaluasi pendidikan yang berfungsi untuk melihat hasil pendidikan
secara obyektif. Yaitu evaluasi yang didasarkan kepada hasil yang dicapai oleh
setiap orang yang menjadi sasaran dalam kegiatan pendidikan.
Ø Keempat,
implikasi administrative, yakni bahwa hasil dari proses pendidikan sekecil
apapun harus dihitung, dinilai, dan dipadukan secara komprehensif dan
dikoleresikan antara satu bagian dengan bagian yang lain, sehingga dapat
diketahui hasilnya secara utuh.
B. Kritik dan Saran
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, bentuk penyusunan maupun
materinya mememiliki kekurangan dan masih memerlukan tambahan dari pembaca,
baik itu dari segi referensi ataupun tulisannya. Maka dari itu kritik dan saran
yang bersifat membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan
makalah selanjutnya. Khususnya kepada bapak dosen kami mohon selalu bimbingan
dan arahannya, apabila dalam pemaparaan makalah ini masih sangat jauh dari yang
diharapkan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfa’at kepada
kita sekalian, amin ya rabbal ‘alamin.
Wallahul
muwafiq ila aqwimiththariq, wassalammu’alaikum. Wr. Wb.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol.8,
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993
Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol.30, Beirut:
Ihya’ at-Turats al-‘Arabiy, t.th.
Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol.21, Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, t.th
Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol.5, Madinah:
Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukm, 2003
Al-Maraghi,
Ahmad Musthafa; Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang: CV. Toha Putra,1993
Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, vol.20, Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 2003
Al-Zamkhsyari, Al-Kasysyâf, vol.6, Riyadh:
Maktabah al-Abikan, 1998
Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol.31, Beirut: Dar
al-Fikr, 1981
Asy-Suyuthi, al-Durr
al-Mantsûr, vol.15, Kairo: Markaz Hijr, 2003
Asyur
Ahmad, Latief Abdul; Menyingkap Misteri Alam Akhirat Terjemahan Kitab
Hayatuna Ba’d al-Maut, T.tp: Insan
Cemerlang, 2003, Cet I
Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol.24,
Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000
Depag RI; Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005
Ibnu
‘Umar al-Jawi; Muhammad Nawawi, Nashaihul ‘Ibad, Jedah-Indonesia: al-Haramain,
t.th, bab.3
Ibnu
Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol.4
Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 2, Beirut: Dar
Shadir, tth.
Shihab,
M. Quraish; Tafsir Al-Mishbah: Pesan,
Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera
Hati, 2002
[4] Abdul Latief Ahmad Asyur,
Menyingkap Misteri Alam Akhirat, (T.T: Insan Cemerlang, 2003), Cet I,
hal.11
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah: Pesan,Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, Volume 13, (Jakarta:Lentera
Hati,2002), hal,298
[7] Abdul Latief Ahmad Asyur, Menyingkap Misteri Alam Akhirat Terjemahan
Kitab Hayatuna Ba’d Al-maut, hal.25
[40] Muhammad Nawawi Ibnu ‘Umar al-Jawi, Nashaihul ‘Ibad,
(Jedah-Indonesia: al-Haramain, t.th), bab.3, hal.12
Krenn Pak :-)
BalasHapus