Senin, 03 Februari 2014

HULUL dan ITTIHAD



BAB I
PENDAHULUAN
Setiap manusia harus mengenal dan mempercayai Allah SWT dengan penuh keyakinan didasari dengan firman Allah dan sabda Rasul. Hal ini sebaiknya dipertajam dan diperkokoh dengan sering berdzikir kepada-Nya dan bertafakur atas makhluk-Nya. Kepercayaan kepada Allah SWT tidak cukup dicapai dengan naluri dan akal pikiran semata.
Seorang sufi adalah seorang “Ulil Albab” atau cendekiawan muslim jika ia menempuh jalan hidupnya dengan sering berdzikir kepada Allah SWT sepanjang masa dan bertafakur atas kejadian langit dan bumi, serta mempererat tali persaudaraan diantara orang-orang beriman.
Berdasarkan tasawuf falsafi, maka konsepsi tentang Tuhan merupakan lebih lanjut dari pemikiran para ahli kalam (teolog) dan filosof. Jika dalam tasawuf sunni mengenal ma’rifah adalah sebagai maqam yang tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia dimana manusia dapat mengenal Allah dengan kalbu (hati). Dalam tasawuf falsafi dikatakan bahwa manusia dapat melewati maqam tersebut. Manusia dapat naik kejenjang yang lebih tinggi, yakni persatuan dengan Tuhan yang dikenal dengan istilah Ittihad, Hulul, Wahdah al-Wujud maupun Isyraq.
Dalam mengenal yang dinamakan Ittihad dan Hulul, kami akan membahasnya sebagai tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf. 

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Al-Ittihad
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-Baqa. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad[1].
Fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada alam nyata ini, maka ia dinyatakan telah fana dalam alam makhluk[2]. Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang abadi adalah sifat-sifat ilahiyah[3].
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlaq yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlaq yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlaq yang terpuji.[4] Dapat disimpulkan bahwa, berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-Ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu.
Pengertian ittihad sebagaimana disebutkan dalam sufi terminologi adalah penggabungan antara dua hal yang menjadi satu. Ittihad merupakan doktrin yang menyimpang dimana di dalamnya terjadi proses pemaksaan antara dua ekssistensi. Kata ini berasal dari kata wahd atau wahdah yang berarti satu atau tunggal. Jadi Ittihad artinya bersatunya manusia denganTuhan.
Dengan demikian, dalam baqa dan fana, sejalan dengan pendapat Mustofa Zahri yang mengatakan fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana dikatakan oleh al-Baidawi “yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari yang lain”. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi dan Tuhan[5].
Berikut ini adalah dalil aqli paham ittihad:
التَّصَوُّفُ قاَنُوْنَ عَنِ النَّفْسِهِمْ فاَقُوْنَ بِرَبِّهِمْ مَحْضُوْرُقُلُوْبِهِمْ مَعَ اللهِ
 “Tasawuf itu adalah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.”
Adapun naqli-nya adalah
øŒÎ) urr& èpu÷FÏÿø9$# n<Î) É#ôgs3ø9$# (#qä9$s)sù !$uZ­/u $uZÏ?#uä `ÏB y7Rà$©! ZptHôqy ø×Ähydur $oYs9 ô`ÏB $tR̍øBr& #Yx©u ÇÊÉÈ  
“Ingatlah tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami (ini)." (QS. Al-Kahfi: 10)
@ä. ô`tB $pköŽn=tæ 5b$sù ÇËÏÈ   4s+ö7tƒur çmô_ur y7În/u rèŒ È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ  
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 26-27)

B.     Definisi Al-Hulul
Kata al-Hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang berarti tinggal atau berdiam diri, secara terminologi kata al-Hulul diartikan dengan paham bahwa tuhan dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Disamping itu al-Hulul berasal dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat (Halla bi al-Makani). Jadi secara garis besarnya adalah menempati suatu tempat.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiannya melalui fana. Dengan pengertian lain, hulul merupakan paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan[6].
Pemahaman al-Hulul selanjutnya bermuara pada sifat-sifat dasar manusia. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat keTuhanan (lahut) dan sifat insaniyah (nasut). Konsepsi lahut dan nasut ini didasarkan al-Hallaj pada firman Allah dalam surat al-Baqarah: 34.
øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyŠKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4n1r& uŽy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.
Menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah sebagaimana menyembah Allah.
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riil karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah[7]. Bersatunya antara manusia dan Tuhan harus melalui proses bersyarat, dimana saat manusia berkeinginan bersatu dengat Tuhannya maka ia harus mampu melenyapkan sifat al-Nasutnya. Lenyapnya sifat al-Nasut, maka secara otomatis akan dibarengi dengan munculnya sifat al-Lahut, dan dalam keadaan seperti inilah terjadi pengalaman Hulul.[8]
Tatkala peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (aku adalah Yang Maha Benar). Kata al-Haqq dalam istilah tasawuf berarti Tuhan. Sebagian masyarakat menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya adalah Tuhan. Namun al-Hallaj tidak mengaku demikian, perspektif ini dibangun berdasarkan ungkapan sya’irnya:
“ Aku adalah Rahasia Yang Maha Besar,
dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku.
Aku hanya satu dari yang benar,
dibedakanlah antara Kami atau aku dan Dia Yang Maha Benar “[9]

Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa dalam syatahat yang keluar dari mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya adalah keberlanjutan dari paham al-ittihad. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin[10].  Al-Hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :
1.      Al-Hulul al-Jawari,
yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.
  1. Al-Hulul as-Sarayani,
yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir di dalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir di dalam bunga.
Al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-Ittihad sebagaimana telah disebutkan diatas. Tujuan dari al-Hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-Hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.
Berikut ini adalah dalil aqli paham hulul :
إِنَّ اللهَ إصْطَفى اَجْسَامًاحَلَّ فِيْهَابِمَعَانِيْ الرَّبُوْنِيَّةً وَاَزَالَ عَنْهَامَعَانِيْ الْبَشَرِيَّةِ
 “Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad tertentu dan menempatinya dengan makna ketuhanan setelah menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan.”
Adapun dalil naqlinya adalah :
øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyŠKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4n1r& uŽy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ  
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)
C.    Pandangan Ulama Terkait Ittihad dan Hulul
Ittihad pertama kali diperkenalkan oleh seorang sufi bernama Abu Yazid al-Bustami (W.874 M).[11] Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa Surusyan, juga dikenal dengan Bayazid. Beliau dikenal sebagai salah seorang sufi kenamaan Persia pada abad III dari Bistam wilayah Qum[12].
Menurut Abu Yazid, manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang kesadarannya (sebagai manusia). Maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.[13] Bila seseorang yang telah mencapai ittihad, apa yang dilakukan adalah melalui Tuhan. Ucapan yang dikatakan dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan, tetapi bagi orang yang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai penyelewengan, namun bagi orang yang berpegang teguh pada agama, hal ini dipandang sebagai kekufuran.
Sedangkan tokoh yang pertama kali mengembangkan paham hulul adalah al-Hallaj, lahir di Persia (Iran) pada tahun 224 H/858 M. Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain bin Mansur bin Mahma al-Baidhawi al-Hallaj.[14] Konsep yang diusung oleh al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya kepada Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa spritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality) yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama “ Allah “.[15]
Dalam paham ini yang dikemukakan oleh al-Hallaj tersebut ada dua hal yang dapat dicatat. Pertama, bahwa paham hulul merupakan pengembangan atau bentuk lain dari paham mahabbah sebagaimana disebutkan yang dibawa oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Kedua, hulul juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Tetapi dalam persatuan melalui hulul ini, al-Hallaj kelihatannya tidak hilang, sebagaimana halnya dengan diri Abu Yazid dalam ittihad. Dalam ittihad diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan.
Prof Harun Nasution di dalam bukunya Islam dan Misticisme mengatakan bahwasanya paham ittihad dan hulul dipandang sebagai paham yang bertentangan dengan syari’at oleh ulama syari’at. Peristiwa al- Hallaj (dihukum) menjadikan ulama-ulama tasawuf seperti Abu al-Qasim Abd al-Karim dan Abu Bakar Muhammad al-Kalabi tidak banyak menulis tentang bab ini (ittihad dan hulul) dengan alasan takut bernasib serupa dengan al-Hallaj. 

BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan
Ittihad dan Hulul adalah konsep yang sama namun beda pelopor. Pemakalah mengatakan sama karena baik ittihad maupun hulul, terdapat satu keadaan yang bernama syathahat.  Untuk lebih jelas, silahkan baca Ensiklopedi Islam.
Demikianlah makalah ini kami buat, kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak sekali kesalahan dan kekurangan, untuk itu sumbang saran dan kritikan yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah khususnya. Aamiiin.



Daftar Pustaka
Al-Kumayi, Sulaiman Ke’arifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, Semarang: Pustaka Nuun,2004
Azra, Azyumardi,  Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, Cet.X
Nata, Abuddin Akhlaq Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Nasution, Harun Falsafah dan Mistisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983
Siregar, A. Rivay Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Syukur, Amin Menggugat Taswuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999
Zahri, Mustafa Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1985
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru, 1999, cet. V



[1] A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme,(Jakarta;RajaGrafindoPersada,1999),h.152.
[2] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya; Bina Ilmu,1985), 1985 hal.234.
[3] Abuddin Nata, M.A, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta; RajaGrafindo Persada,1996), hal.232.
                [4] Ibid, hal.223       
[5] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya; Bina Ilmu,1985), hal.236.
[6] Abuddin Nata, Op.Cit, hal.239.
[7] A. Rivay Siregar,Op.Cit, hal.157-158
[8] M. Amin Syukur, Menggugat Taswuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999), hal.57
[9] Harun Nasution,Op.Cit, hal.90.
[10] Abuddin Nata,Op.Cit , hal.241.
[11] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1999), cet. V, hal.134.
[12] Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1973), hal.81.
[13] Ibid, hal.82
[14] Azyumardi Azra, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve,2002), Cet.X, hal.74
[15] Sulaiman al-Kumayi, Ke’arifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, (Semarang: Pustaka Nuun,2004), hal.4.

2 komentar: