BAB I
PENDAHULUAN
Setiap manusia harus mengenal dan
mempercayai Allah SWT dengan penuh keyakinan didasari dengan firman Allah dan
sabda Rasul. Hal ini sebaiknya dipertajam dan diperkokoh dengan sering
berdzikir kepada-Nya dan bertafakur atas makhluk-Nya. Kepercayaan kepada Allah
SWT tidak cukup dicapai dengan naluri dan akal pikiran semata.
Seorang sufi adalah seorang “Ulil
Albab” atau cendekiawan muslim jika ia menempuh jalan hidupnya dengan
sering berdzikir kepada Allah SWT sepanjang masa dan bertafakur atas kejadian
langit dan bumi, serta mempererat tali persaudaraan diantara orang-orang
beriman.
Berdasarkan tasawuf falsafi, maka
konsepsi tentang Tuhan merupakan lebih lanjut dari pemikiran para ahli kalam
(teolog) dan filosof. Jika dalam tasawuf sunni mengenal ma’rifah
adalah sebagai maqam yang tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia
dimana manusia dapat mengenal Allah dengan kalbu (hati). Dalam tasawuf falsafi
dikatakan bahwa manusia dapat melewati maqam tersebut. Manusia dapat naik
kejenjang yang lebih tinggi, yakni persatuan dengan Tuhan yang dikenal dengan
istilah Ittihad, Hulul, Wahdah al-Wujud maupun Isyraq.
Dalam mengenal yang dinamakan Ittihad dan Hulul,
kami akan membahasnya sebagai tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Al-Ittihad
Apabila seorang sufi telah berada dalam
keadaan fana, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan,
sehingga wujudiyahnya kekal atau al-Baqa. Di dalam perpaduan itu
ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan,
itulah yang dimaksud dengan ittihad[1].
Fana adalah lenyapnya
inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka
pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan,
sehingga tiada lagi melihat daripada alam nyata ini, maka ia dinyatakan telah fana
dalam alam makhluk[2].
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti
kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya
sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya
(fana) sifat-sifat basyariah, maka yang abadi adalah sifat-sifat
ilahiyah[3].
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana
adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlaq yang tercela, kebodohan dan
perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya
sifat-sifat ketuhanan, akhlaq yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan
diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan
usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan
akhlaq yang terpuji.[4] Dapat disimpulkan bahwa,
berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-Ittihad,
yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan
baqa itu sendiri adalah ittihad itu.
Pengertian ittihad
sebagaimana disebutkan dalam sufi terminologi adalah penggabungan antara dua
hal yang menjadi satu. Ittihad merupakan doktrin yang menyimpang dimana
di dalamnya terjadi proses pemaksaan antara dua ekssistensi. Kata ini berasal
dari kata wahd atau wahdah yang berarti satu atau tunggal. Jadi Ittihad
artinya bersatunya
manusia denganTuhan.
Dengan demikian, dalam baqa dan fana,
sejalan dengan pendapat Mustofa Zahri yang mengatakan fana dan baqa tidak
dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran ittihad
sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana dikatakan oleh al-Baidawi
“yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang
berpisah dari yang lain”. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu
wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara
yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi
dan Tuhan[5].
Berikut ini adalah dalil aqli paham ittihad:
التَّصَوُّفُ قاَنُوْنَ عَنِ النَّفْسِهِمْ فاَقُوْنَ بِرَبِّهِمْ
مَحْضُوْرُقُلُوْبِهِمْ مَعَ اللهِ
“Tasawuf itu adalah
mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka
bersama Allah.”
Adapun naqli-nya adalah
øŒÎ) “urr& èpu‹÷FÏÿø9$# ’n<Î) É#ôgs3ø9$# (#qä9$s)sù !$uZ/u‘ $uZÏ?#uä `ÏB y7Rà$©! ZptHôqy‘ ø×Ähydur $oYs9 ô`ÏB $tRÌøBr& #Y‰x©u‘
ÇÊÉÈ
“Ingatlah
tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka
berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan
sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami (ini)." (QS. Al-Kahfi: 10)
‘@ä.
ô`tB
$pköŽn=tæ
5b$sù
ÇËÏÈ 4’s+ö7tƒur
çmô_ur
y7În/u‘
rèŒ
È@»n=pgø:$#
ÏQ#tø.M}$#ur
ÇËÐÈ
“Semua
yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 26-27)
B. Definisi Al-Hulul
Kata al-Hulul adalah bentuk masdar
dari kata kerja halla yang berarti tinggal atau berdiam diri, secara
terminologi kata al-Hulul diartikan dengan paham bahwa tuhan dapat
menitis ke dalam makhluk atau benda. Disamping itu al-Hulul berasal dari kata halla
yang berarti menempati suatu tempat (Halla bi al-Makani). Jadi secara
garis besarnya adalah menempati suatu tempat.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam
tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiannya melalui fana. Dengan pengertian lain, hulul merupakan
paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan[6].
Pemahaman al-Hulul selanjutnya bermuara pada sifat-sifat
dasar manusia. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai sifat dasar yang ganda,
yaitu sifat keTuhanan (lahut) dan sifat insaniyah (nasut).
Konsepsi lahut dan nasut ini didasarkan al-Hallaj pada firman Allah dalam surat
al-Baqarah: 34.
øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#r߉àfó™$# tPyŠKy (#ÿr߉yf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4’n1r& uŽy9õ3tFó™$#ur tb%x.ur z`ÏB šúïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ
“Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka
sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk
golongan orang-orang yang kafir”.
Menurut pemahamannya, adanya perintah Allah
agar malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam
diri Adam sehingga ia harus disembah sebagaimana menyembah Allah.
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan
sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini
bersifat figuratif, bukan riil karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam
kondisi fana dalam iradat Allah[7]. Bersatunya antara manusia
dan Tuhan harus melalui proses bersyarat, dimana saat manusia berkeinginan
bersatu dengat Tuhannya maka ia harus mampu melenyapkan sifat al-Nasutnya.
Lenyapnya sifat al-Nasut, maka secara otomatis akan dibarengi dengan
munculnya sifat al-Lahut, dan dalam keadaan seperti inilah terjadi
pengalaman Hulul.[8]
Tatkala peristiwa hulul sedang berlangsung,
keluarlah syatahat (kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana
al-Haqq (aku adalah Yang Maha Benar). Kata al-Haqq
dalam istilah tasawuf berarti Tuhan. Sebagian masyarakat menganggap al-Hallaj
telah kafir, karena ia mengaku dirinya adalah Tuhan. Namun al-Hallaj tidak
mengaku demikian, perspektif ini dibangun berdasarkan ungkapan sya’irnya:
“ Aku adalah Rahasia
Yang Maha Besar,
dan bukanlah Yang Maha
Benar itu aku.
Aku hanya satu dari yang
benar,
dibedakanlah antara Kami
atau aku dan Dia Yang Maha Benar “[9]
Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa
dalam syatahat yang keluar dari mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan
Tuhan melalui lidahnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka al-Hulul
dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara
rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya adalah keberlanjutan dari
paham al-ittihad. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan
secara batin[10].
Al-Hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :
1.
Al-Hulul al-Jawari,
yakni
keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada yang lain (tanpa persatuan),
seperti air mengambil tempat dalam bejana.
- Al-Hulul as-Sarayani,
yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir di dalam yang lain)
sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir di
dalam bunga.
Al-Hulul dapat dikatakan
sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal
ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-Ittihad
sebagaimana telah disebutkan diatas. Tujuan dari al-Hulul adalah mencapai
persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-Hulul adalah
ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal
ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh
perjalanan hidup kebatinan.
Berikut ini adalah dalil aqli paham hulul :
إِنَّ اللهَ إصْطَفى اَجْسَامًاحَلَّ فِيْهَابِمَعَانِيْ
الرَّبُوْنِيَّةً وَاَزَالَ عَنْهَامَعَانِيْ الْبَشَرِيَّةِ
“Sesungguhnya
Allah memilih jasad-jasad tertentu dan menempatinya dengan makna ketuhanan
setelah menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan.”
Adapun dalil naqlinya adalah :
øŒÎ)ur
$oYù=è%
Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9
(#r߉àfó™$#
tPyŠKy
(#ÿr߉yf|¡sù
HwÎ)
}§ŠÎ=ö/Î)
4’n1r&
uŽy9õ3tFó™$#ur
tb%x.ur
z`ÏB
šúïÍÏÿ»s3ø9$#
ÇÌÍÈ
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)
C. Pandangan Ulama Terkait Ittihad dan Hulul
Ittihad pertama kali
diperkenalkan oleh seorang sufi bernama Abu Yazid al-Bustami (W.874 M).[11] Nama lengkapnya adalah
Abu Yazid Taifur bin Isa Surusyan, juga dikenal dengan Bayazid. Beliau dikenal
sebagai salah seorang sufi kenamaan Persia pada abad III dari Bistam wilayah
Qum[12].
Menurut Abu Yazid,
manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia
hilang kesadarannya (sebagai manusia). Maka
pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau
dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.[13] Bila seseorang yang
telah mencapai ittihad, apa yang dilakukan adalah melalui Tuhan. Ucapan
yang dikatakan dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi
kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yang
dicapainya dengan Tuhan. Dengan
demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan, tetapi bagi
orang yang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai penyelewengan,
namun bagi orang yang berpegang teguh pada agama, hal ini dipandang sebagai
kekufuran.
Sedangkan tokoh yang pertama kali
mengembangkan paham hulul adalah al-Hallaj, lahir di Persia (Iran) pada
tahun 224 H/858 M. Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain bin Mansur
bin Mahma al-Baidhawi al-Hallaj.[14] Konsep yang diusung oleh al-Hallaj dalam praktek
pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya kepada Tuhan.
Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa spritualnya bertumpu pada konsep
teologi yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality)
yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang
Satu, dan mengenali Yang Satu, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama “ Allah “.[15]
Dalam paham ini yang dikemukakan oleh al-Hallaj tersebut ada dua
hal yang dapat dicatat. Pertama, bahwa paham hulul merupakan
pengembangan atau bentuk lain dari paham mahabbah sebagaimana disebutkan
yang dibawa oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Kedua, hulul juga menggambarkan
adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Tetapi dalam
persatuan melalui hulul ini, al-Hallaj kelihatannya tidak hilang,
sebagaimana halnya dengan diri Abu Yazid dalam ittihad. Dalam ittihad
diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan.
Prof Harun Nasution di dalam bukunya Islam
dan Misticisme mengatakan bahwasanya paham ittihad dan hulul
dipandang sebagai paham yang bertentangan dengan syari’at oleh ulama syari’at.
Peristiwa al- Hallaj (dihukum) menjadikan ulama-ulama tasawuf seperti Abu
al-Qasim Abd al-Karim dan Abu Bakar Muhammad al-Kalabi tidak banyak menulis
tentang bab ini (ittihad dan hulul) dengan alasan takut bernasib
serupa dengan al-Hallaj.
BAB
III
Penutup
A. Kesimpulan
Ittihad dan Hulul adalah konsep yang sama
namun beda pelopor. Pemakalah mengatakan sama karena baik ittihad maupun hulul,
terdapat satu keadaan yang bernama syathahat.
Untuk lebih jelas, silahkan baca Ensiklopedi Islam.
Demikianlah makalah
ini kami buat, kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak sekali
kesalahan dan kekurangan, untuk itu sumbang saran dan kritikan yang konstruktif
demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami semoga makalah
ini bisa memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah khususnya.
Aamiiin.
Daftar Pustaka
Al-Kumayi, Sulaiman
Ke’arifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, Semarang: Pustaka Nuun,2004
Azra, Azyumardi, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002, Cet.X
Nata,
Abuddin Akhlaq Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Nasution, Harun
Falsafah dan Mistisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983
Siregar, A. Rivay
Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999.
Syukur, Amin Menggugat Taswuf, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1999
Zahri, Mustafa Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1985
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru,
1999, cet. V
[1] A.
Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme,(Jakarta;RajaGrafindoPersada,1999),h.152.
[2] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya; Bina
Ilmu,1985), 1985 hal.234.
[8] M.
Amin Syukur, Menggugat Taswuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999), hal.57
[11] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1999), cet. V, hal.134.
[12] Harun Nasution, Falsafah
Dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1973), hal.81.
[14] Azyumardi Azra, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar
Baru Van Hoeve,2002), Cet.X, hal.74
[15] Sulaiman al-Kumayi, Ke’arifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym,
(Semarang: Pustaka Nuun,2004), hal.4.
ijin mengcopy
BalasHapusSilahkan... Semoga bermanfaat.
Hapus