Senin, 03 Februari 2014

Pokok-pokok Ajaran Asy'ariyah_ILMU KALAM



“ ASY-‘ARIYAH ”
POKOK-POKOK AJARANNYA
DAN TANGGAPAN TERHADAP AJARAN MU’TAZILAH
Makalah Bahan Diskusi Kelas
Mata Kuliah
ILMU KALAM

Dosen Pembimbing:

Dra. Hj. Halimah Sa’diyah, M.Ag


Disusun oleh:
Ahmad Luthfi
Ali Wardjuzi
Fikriyah
Rosihul Iman

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-HIKMAH
JAKARTA
2012 






 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan al-Asy`ariyyang masih cucunya (keturunan)dari seorang sahabat Rasulullah SAW, Abi Musa al-Asy’ari,yang dijadikan utusan perdamaian dalam peperangan antara Saiyidana Ali dengan Muawiyah pada peristiwa tahkim[1].Kelompok Asy’ariyah menisbatkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.

Kita sekalian sebagai muslim mayoritas di negeri ini dan notabene perpaham Ahlussunnah wal Jama’ah, sudah sewajarnya berdiri digaris terdepan untuk membangun negeri tercinta. Dan satu sumber api semangat yang tak boleh dilupakan ialah kemantapan akidah di dada kita. Selanjutnya, satu upaya rasional guna memantapkan akidah itu ialah mendalami pemikiran kalam yang telah dicetuskan oleh para pendiri aliran kalam Ahlussunnah wal Jama’ah itu sendiri serta dikembangsebarkan oleh para tokoh dan ulama hingga dewasa ini. Dan pada makalah ini, kami sebagai pemakalah akan membahas tentang pokok-pokok pemikiran yang ada dalam aliran Asy’ariyah dan tanggapannya terhadap ajaran-ajaran yang lain.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari.Menurut beberapa riwayat, al-Asy’ari lahir di Bashrahpada tahun 260 H/875 M.[2] Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli hadis, iawafat ketika al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya as-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Ibu al-Asy’ari, sepeninggal suaminya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w.303 H/915 M), ayah kandung dari Hasyim al-Jubba’i (w.321 H/932 M).Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah berkat didikan ayah tirinya itu.Ia sering menggantikan al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah, selain itu ia banyak menulis buku yang membela aliran Mu’tazilah[3].
Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah hingga sekitar usia 40 tahun akhirnya ia mengumumkan dihadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa ia telah meninggalkan faham Mu’tazilah berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber bahwa Abu al-Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Mu’tazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).[4]
Sedangkan menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW sebanyak tiga kali. Di dalammimpinya itu, Rasulullah SAW memperingatkan agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.[5]
Sejak itu, Asy’ari gigih menyebarluaskan paham barunya sehingga terbentuk mazhab baru dalam teologi Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunnah wal jama’ah. Pengikut al-Asy’ari sendiri sering disebut pula Asy’ariyah.[6] 

B.     Pokok-pokok Ajaran Asy’ariyah
Pada dasarnya paham al-Asy’ariah adalah aliran yang berusaha mengambil sikap tengah antara dua kutub, akal dan naqlantara kaum Salaf dengan Mu’tazilah.Atau al-Asy’ariah bercorak perpaduan antara pendekatan tekstual dan kontekstual, sehingga al-Ghazali menyebutnya sebagai aliran al-Mutawassith (pertengahan).
Adapun pemikiran-pemikiran al-Asy’ari yang terpenting adalahantara lain:
1.      Allah dan Sifat-sifat-Nya
Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an, seperti Allah mengetahui dengan ‘Ilmu, berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayat dan seterusnya.Sifat-sifat Allah SWT itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.Sifat-sifat Allah berbeda dengan dzat Allah SWT itu sendiri.
2.      Kebebasan Dalam Berkehendak
Menurut faham Asy’ariyah,Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia,sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib).Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia.Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori Kasb;“yakni berbarengnya perbuatan manusia dengan kekuasaan Tuhan”, artinya jika manusia hendak mengadakan perbuatannya, maka pada saat itu pula Tuhan menciptakan kesanggupan manusia untuk mewujudkan perbuatan. Dengan perbuatan inilah ia mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak menciptakannya.
Konsep Kasb ini adalah perpaduan antara konsep teologi Qadariyah dan Jabariyah.Qadariyah dengan konsep kehidupan manusia yang tergantung kepada manusianya.Kemampuan (qudrah) dan usaha manusia itu adalah sangat efektif.Berbeda dengan Jabariyah, justru berpendapat bahwa kehidupan manusia tergantung kepada Tuhan.Segala kemampuan dan usaha manusia ditentukan oleh Tuhan.Sementara menurut Matrudiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri.Dalam masalah ini, Matrudiyah lebih dekat dengan Mu’tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
Adapun al-Kasbdisini menurut Asy’ariyah mengandung arti keaktifan.Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
3.      Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu.Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.Asy’ari berpendapat bahwa bahwa akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan.Manusia dapat mengetahui kewajibannya hanya melalui wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran itu. Menurut Asy’ari baik dan buruk berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
4.      Qadimnya Al-Qur’an
Pandangan Asy’ari tentang al-Qur’an, sangat bertentangan dengan pandangan Mu’tazilah. Kalau Mu’tazilah mengatakan bahwa al-Qur’an adalahhawadits  (baru) karena ia makhluk, maka menurut Asy’ari, al-Qur’an adalah qadim. Hal ini didasarkan pada surat an-Nahl;40:“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah)” maka jadilah ia.”[7]
5.      Melihat Allah
Al-Asy’ari mengatakan bahwa setiap yang ada, pasti dapat dilihat.Oleh karena itu menurut i’tiqadkaum Ahlussunnah wal Jama’ah (faham al-Asy’ariyah), Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala manusia di akhirat kelak yaitu oleh hamba-hambaNya yang saleh yang dikaruniai nikmat melihat Tuhan. Dalil-dalilatas kepercayaan ini antara lain firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23,yang artinya: “Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan mereka melihat (memandang Tuhannya)”.Dan juga terdapat dalam Kitab Hadis: “Dari Jarir bin Abdillah, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: Bahwasanya kamu akan melihat Tuhan kamu senyata-nyatanya.” (HR. Imam Bukhari _ ( Sahih Bukhari Juz IV hal.200 ).[8]
6.      Keadilan Allah
Menurut Asy’ari, keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya.Allah tidak mempunyai kewajiban apapun. Allah tidak wajib memasukkan orang entah itu  kesurga ataupun ke neraka. Semua itu adalah kehendak Allah mutlak.Jika Allah memasukkan seluruh manusia ke surga, bukan berarti Allah tak adil, dan jika Allah memasukkan seluruh manusia ke neraka, itu bukan berarti Allah zhalim.Allah adalah penguasa mutlak segala-galanya dan tidak ada yang lebih kuasa. Allah dapat dan boleh melakukan apa saja yang di kehendaki-Nya.
7.      Kedudukan Orang Berdosa Besar
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah berpandangan yang sama bahwa Allah SWT itu adil. Hanya saja mereka berbeda dalam memandang makna keadilan.Aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa apabila pelaku dosa besar tidak bertaubat dari dosanya, meskipun ia mempunyai iman dan keta’atan, tidak akan keluar dari neraka. Sebaliknya,mengatakan siapa yang beriman kepada Allah SWT dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, tidak akan mempengaruhi imannya.
Adapun al-Asy’ari menolak ajaran menengah (manzilah bainal manzilatain) yang dianut Mu’tazilah.Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya.Jika tidak mukmin, berarti kafir. Oleh karena itu, al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besardan meninggal dunia sebelum sempat bertaubat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula berada diantara keduanya, dan di akhirat terserah Allah SWT dengan beberapa kemungkinan:
a.       Ia mendapat ampunan Allah SWT dengan rahmat-Nya sehingga pelaku dosa besar tersebut masuk surga.
b.      Ia mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW.
c.       Allah menghukum kepadanya dengan dimasukkan ke dalam neraka sesuai dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian ia di masukkan ke surga[9].
Beberapa pokok ajaran Asy’ariyah diatas menunjukkan bahwa ia menolak paham-paham Mu’tazilah yang sebelumnya dianut olehnya. Semua pendapat yang dilontarkannya diatas merupakan kebalikan dari pendapat Mu’tazilah.

C.    PerbandinganAjaranAsy’ariyah dengan Mu’tazilah
Perbedaan paham tidak jarang menimbulkan perpecahan dan pertikaian.Jangankan yang berbeda agama dan keyakinan, bahkan dalam satu agama dan keyakinanpun, perbedaan pastilah muncul dan mewarnai dinamika pemikiran keagamaan.Dua paham terbesar, yakni Asy’ariyah dan Mu’tazilah telah memberikan pengertian dan pemahaman teologi yang berbeda.Walaupun dalam kenyataan yang ada sekarang, aliran-aliran atau golongan-golongan yang terpecah tidak hanya dua itu, namun pada dasarnya mereka tetap mengacu pada pokok pikiran dua aliran ini.
Persaingan dan perang intelektual yang dilakukan orang-orang yang berbeda pemahaman sebenarnya bukan merupakan sebuah kejelekan.Bahkan dapat dikatakan kemajuan dan berkembangnya pemikiran tentang keagamaan. Pemikiran-pemikiran baru akan lahir sedikit demi sedikit atas adanya perdebatan. Namun, sekali lagi, seseorang tidak dapat menerima perbedaan itu sebagai sebuah anugerah tetapi menimbulkan kecemasan dan ketakutan kepada pihak lain, sehingga yang ia lakukan adalah menghancurkan mereka terlebih dahulu sebelum (apabila) mereka menghancurkan kita. Mereka terkadang lupa tentang siapa yang dihancurkannya, ada siapa diantara mereka, siapa yang berhak atas kehidupan mereka. Bahkan mereka pun lupa apa sebenarnya yang menjadi perdebatan awal sehingga mereka berseberangan.
Diantara dua faham Mu’tazilah dan Asy’ariyah, paling tidak ada tiga garis besar perbedaan, yakni tentang Ketuhanan, Kekuasaan Tuhan, dan Manusia.
1.      Ketuhanan
Satu hal yang tidak menjadi perbedaan adalah “Tuhan itu satu”.Perbedaan pengertian keesaan Tuhan pada dasarnya bukanlah perbedaan dalam segi hakekat, tetapi perbedaan dimensi pandangan.Mu’tazilah dalam memandang keesaan Tuhan memberikan pengertian tentang keesaan yang menyeluruh, baik itu sifat, dzat, dan lain sebagainya. Mereka para tokoh Mu’tazilah menafikan pengetahuan, kekuasaan, penglihatan, dan sifat-sifat dzat Allah yang lain. Dalam pandangan mereka, Allah SWT senantiasa tahu, hidup, kuasa, mendengar, melihat, dan qadim dengan diri-Nya sendiri.
Sedangkan Asy’ariyah memandang keesaan Tuhan lebih kepada sebuah dzat yang tidak dapat terlepas dari sifat-sifat yang melekat pada diri-Nya.Ia juga menyatakan bahwa Allah mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya disamping mempunyai pengetahuan, kemampuan, dan daya. Lebih jauh lagi bahwa Allah memiliki sifat-sifat seperti mempunyai wajah, tangan, dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara simbolis. Sifat-sifat Allah itu unik karenanya tidak bias dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah itu sendiri, tetapi _sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah)_ tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya[10].

2.      Kekuasaan Tuhan
Tidak jarang kita terbentur dengan pemikiran-pemikiran yang menyangkut tentang kekuasaan Tuhan.Allah SWT dengan sebutan Sang Penguasa akankah sebagai “dalang” yang menggerakkan seluruh gerak dan kegiatan “wayangnya”. Ataukah Allah hanya sebagai pencipta manusia dan potensinya saja, dan membiarkan manusia berbuat sekehendak hatinya, tanpa harus “campur tangan” dan hanya menunggu serta memberikan balasan yang sesuai ?
Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perbuatan yang timbul dari Allah, dalam hubungan dengan hamba-Nya, ditentukan oleh kebijaksanaan atas dasar kemaslahatan. Perbuatan Allah hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik,  ini bukan berarti Allah tidak kuasa melakukan perbuatanburuk. Allah SWT tidak melakukan perbuatan buruk karena Ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu.Perbuatan Allah tidaklah bertujuan untuk kepentingan diri-Nya sendiri, tetapi untuk kepentingan makhluk dan perbuatan-Nya itu selalu baik.
Lebih jelas Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasan Allah sebenarnya tidak mutlak lagi.Ketidakmutlakan kekuasan Allah itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia serta adanya hukum alam (Sunnatullah) yang menurut al-Qur’an tidak pernah berubah.
Adapun menurut Asy’ariyah bahwa perbuatan Allah tidak mempunyai tujuan.Allah SWT berbuat sesuatu hanya semata-mata atas kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya, dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lainnya.Selanjutnya menurut Asy’ariyah, Kehendak Allah mesti berlaku.Jika kehendak Allah tidak berlaku, itu berartiAllah lupa, lalai, dan lemah dalam melaksanakan kehendak-Nya, sedangkan semua sifat lupa, lalai, apalagi lemah adalah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah SWT.Oleh karena itu, kekuasan Allah SWT itu mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sesuka-Nya.
3.      Manusia
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa manusia diciptakan menurut aturan dan takdir dari sang pencipta. Ia tidak mempunyai kehendak dan kekuatan yang diandalkan untuk melawan kehendak Ilahi. Lalu pertanyaan yang mungkin timbul selanjutnya, apakah fungsi Tuhan menciptakan akal dan daya-daya yang dianugerahkan kepada manusia, kalau toh ia harus mengikuti aturan Tuhan?Atau, sampai dimana manusia bergantung pada Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya?
Menurut Mu’tazilah, bahwa manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, manusialah yang menciptakn perbuatan-perbuatannya.Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk.Keta’atan dan kepatuhannya adalah kehendak dan kemauannya sendiri, daya (al-istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan dan tidak pula menentukannya, namun kalangan mu’tazilah tidak memungkiri adanya ilmu azali Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Dalil yang majukan aliran mu’tazilah adalah al-Qur’an surat as-Sajdah ayat 7, yang artinya: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. 
Dalil ini mempertegas bahwa perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena diantara perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat, dan juga akan ada balasan bagi perbuatan tersebut.
Adapun dalam paham Asy’ari dikenal teori al-Kasb  (perolehan) yaitu segala sesuatu yang terjadi dengan perantaraaan daya yang diciptakan, sehingga menjadi peolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Dengan kata lain, jika manusia hendak mengadakan perbuatannya, maka pada saat itu pula Tuhan menciptakan kesanggupan manusia untuk mewujudkan perbuatan. Dengan perbuatan inilah ia mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak menciptakannya.Sebagai konsekuensinya,manusia kehilangan daya dalam perbuatannya. Dalil yang dipakai oleh Asy’ari adalah al-Qur’an surat as-Saffat ayat 96, yang artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu."
Ayat ini mengandung arti bahwa yang membuat kasb dan perbuatan manusia adalah Allah SWT.Pada prinsipnya, aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia dan daya manusia adalah ciptaan Allah.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang menyangkut pemahaman antara Mu’tazzilah dan Asy’ariyah di atas, maka dapatlah ditarik beberapa garis besar sebagai berikut:
1.      Perkembangan dan munculnya berbagai aliran-aliran disebabkan oleh adanya ketidakpuasan atas ilmu-ilmu yang berkembang saat itu. Mu’tazilah dengan kekuatan rasionalnya dan Asy’ariyah sebagai rivalnya, telah memberikan keberanian berfikir atas ketidakpuasan keilmuan yang sedang berkembang. Di samping itu, aliran-aliran tersebut telah berani membusungkan dada terhadap rongrongan yang berasal dari luar kaum Islam.
2.      Perbedaan pandangan antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah sebenarnya disebabkan oleh adanya perbedaan dimensi pandangan, yang apabila diteliti lebih jauh akan merupakan buah pemikiran yang sangat luas.
3.      Prinsip-prinsip yang dipergunakan mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Di satu sisi, mengajak manusia untuk hidup optimis dengan berbagai potensi yang dimiliki, dan di pihak lain, mengajak orang untuk selalu percaya bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap gerak dan nafas kita.

Demikianlah pembahasan makalah ini, yang karena keterbatasan kami dalam memahami dan mendalami materinya_meskipun sudah semaksimal mungkin segala kemampuan pemakalah kerahkan dalam proses penyusunan makalah ini_kami hanya bisa menyajikan sekelumit dari banyaknya pembahasan tentang “Al-Asy’ariyah”.
Akhir kata kami sebagai penyusun makalah ini meminta ma’af bila ada kesalahan dan kekeliruan disana-sini, dan sudi kiranya memberikan sumbang saran atau kritikkan yang sifatnya membangun dan memotifasi demi kesempurnaan makalah ini.
Wallahu al-Muwaffiq ila Aqwam ath-Thariq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb..

DAFTAR PUSTAKA
·         Hamka,Sejarah Baru Islam; Muhamad Mahzum, Studi Kritis Peristiwa Tahkim, Bandung;Pustaka Setia,1999
·         Drs. H.Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Cet I, Bandung; Pustaka Setia, 1998
·         A.Hanafi,M.A, Pengantar Theology Islam, Bandung; PT.Alhusna Zikra,1995
·         Rosihon Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet II, Bandung; CV.Pustaka Setia,2003
·         Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Cet IV, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2000
·         Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta; UI Press,1972
·         Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid IV, Cet XVI, Jakarta;Pustaka Tarbiyah,1993


[1]Hamka,Sejarah Baru Islam; Muhamad Mahzum, Studi Kritis Peristiwa Tahkim. (Bandung;Pustaka Setia,1999), hal.43.
[2]Terdapat beberapa pendapat dalam menetapkan tahun lahirnya: Ibn Atsir, dalam karyanya al-Lubab, Cet.I, h.52, (270 H./885 M). Al-Makrizi, dalam al-Khutbath, Cet.III, h. 303, (270 H/881 M).
[3]Drs. H.Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), Cet. I, hal.179.
[4] A.Hanafi,M.A, Pengantar Theology Islam, (Bandung: PT.Alhusna Zikra,1995), hal.104.
[5] Rosihon Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung:CV.Pustaka Setia,2003), Cet II, hal.120.
[6]Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. IV, hal.122.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press,1972), hal.69.
[8] Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid IV, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,1993), Cet XVI, hal.341
[9]Drs. H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet.IV, hal.123-126
[10] Rosihon Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung:CV.Pustaka Setia,2003), Cet II, hal.167

Tidak ada komentar:

Posting Komentar