“ ASY-‘ARIYAH
”
POKOK-POKOK AJARANNYA
DAN TANGGAPAN TERHADAP AJARAN MU’TAZILAH
Makalah Bahan
Diskusi Kelas
Mata Kuliah
ILMU KALAM
Dosen Pembimbing:
Dra. Hj. Halimah Sa’diyah, M.Ag

Disusun oleh:
Ahmad
Luthfi
Ali
Wardjuzi
Fikriyah
Rosihul
Iman
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM (TARBIYAH)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AL-HIKMAH
JAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan
al-Asy`ariyyang masih cucunya (keturunan)dari seorang sahabat Rasulullah SAW, Abi
Musa al-Asy’ari,yang dijadikan utusan perdamaian dalam peperangan antara
Saiyidana Ali dengan Muawiyah pada peristiwa tahkim[1].Kelompok
Asy’ariyah menisbatkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri
madzhab Asy’ariyah.
Kita sekalian
sebagai muslim mayoritas di negeri ini dan notabene perpaham Ahlussunnah wal Jama’ah,
sudah sewajarnya berdiri digaris terdepan untuk membangun negeri tercinta. Dan
satu sumber api semangat yang tak boleh dilupakan ialah kemantapan akidah di
dada kita. Selanjutnya, satu upaya rasional guna memantapkan akidah itu ialah
mendalami pemikiran kalam yang telah dicetuskan oleh para pendiri aliran kalam
Ahlussunnah wal Jama’ah itu sendiri serta dikembangsebarkan oleh para tokoh dan
ulama hingga dewasa ini. Dan pada makalah ini, kami sebagai pemakalah akan membahas tentang
pokok-pokok pemikiran yang ada dalam aliran Asy’ariyah dan tanggapannya
terhadap ajaran-ajaran yang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama
lengkap al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin
Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa
al-Asy’ari.Menurut beberapa riwayat, al-Asy’ari lahir di Bashrahpada tahun 260
H/875 M.[2]
Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana
pada tahun 324 H/935 M.
Menurut
Ibn Asakir, ayah al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli
hadis, iawafat ketika al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada
seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya as-Saji agar mendidik
al-Asy’ari. Ibu al-Asy’ari, sepeninggal suaminya, menikah lagi dengan seorang
tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w.303 H/915 M), ayah kandung
dari Hasyim al-Jubba’i (w.321 H/932 M).Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh
Mu’tazilah berkat didikan ayah tirinya itu.Ia sering menggantikan al-Jubba’i
dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah, selain itu ia banyak menulis
buku yang membela aliran Mu’tazilah[3].
Al-Asy’ari yang semula berpaham
Mu’tazilah hingga sekitar usia 40 tahun akhirnya ia mengumumkan dihadapan jama’ah
masjid Bashrah bahwa ia telah meninggalkan faham Mu’tazilah berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab
yang ditunjukkan oleh sebagian sumber bahwa Abu al-Hasan telah mengalami
kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari
Mu’tazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara
dirinya dengan al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).[4]
Sedangkan menurut
Ibn Asakir, yang melatarbelakangi al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah
adalah pengakuan al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW sebanyak tiga
kali. Di dalammimpinya itu, Rasulullah SAW memperingatkan agar
meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari
beliau.[5]
Sejak itu, Asy’ari gigih menyebarluaskan paham barunya
sehingga terbentuk mazhab baru dalam teologi Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunnah
wal jama’ah. Pengikut al-Asy’ari sendiri sering disebut pula Asy’ariyah.[6]
B. Pokok-pokok Ajaran Asy’ariyah
Pada dasarnya paham al-Asy’ariah adalah aliran yang
berusaha mengambil sikap tengah antara dua kutub, akal dan naql, antara
kaum Salaf dengan Mu’tazilah.Atau al-Asy’ariah bercorak perpaduan antara
pendekatan tekstual dan kontekstual, sehingga al-Ghazali menyebutnya sebagai
aliran al-Mutawassith (pertengahan).
Adapun pemikiran-pemikiran
al-Asy’ari yang terpenting adalahantara lain:
1.
Allah dan Sifat-sifat-Nya
Menurut
ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam
Al-Qur’an, seperti Allah mengetahui dengan ‘Ilmu, berkuasa dengan Qudrat,
hidup dengan Hayat dan seterusnya.Sifat-sifat Allah SWT itu unik,
sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya
mirip.Sifat-sifat Allah berbeda dengan dzat Allah SWT itu sendiri.
2.
Kebebasan Dalam Berkehendak
Menurut faham Asy’ariyah,Allah
adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia,sedangkan manusia sendiri
yang mengupayakannya (muktasib).Untuk mewujudkan suatu perbuatan,
manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia.Hubungan
perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori Kasb;“yakni
berbarengnya perbuatan manusia dengan kekuasaan Tuhan”, artinya jika manusia hendak mengadakan perbuatannya, maka
pada saat itu pula Tuhan menciptakan kesanggupan manusia untuk mewujudkan
perbuatan. Dengan perbuatan inilah ia mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak
menciptakannya.
Konsep Kasb ini adalah perpaduan antara
konsep teologi Qadariyah dan Jabariyah.Qadariyah dengan konsep kehidupan
manusia yang tergantung kepada manusianya.Kemampuan (qudrah) dan usaha
manusia itu adalah sangat efektif.Berbeda dengan Jabariyah, justru berpendapat bahwa
kehidupan manusia tergantung kepada Tuhan.Segala kemampuan dan usaha manusia
ditentukan oleh Tuhan.Sementara menurut Matrudiyah, perbuatan manusia itu
semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri.Dalam masalah ini, Matrudiyah
lebih dekat dengan Mu’tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang
dikerjakan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
Adapun
al-Kasbdisini menurut Asy’ariyah mengandung arti keaktifan.Karena itu,
manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
3.
Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun
al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu,
mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu.Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara
Mu’tazilah mengutamakan akal.Asy’ari berpendapat bahwa bahwa akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban
mengetahui Tuhan.Manusia dapat mengetahui kewajibannya hanya melalui wahyu.
Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban
mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran itu. Menurut Asy’ari baik dan buruk berdasarkan pada
wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
4.
Qadimnya Al-Qur’an
Pandangan Asy’ari tentang al-Qur’an, sangat
bertentangan dengan pandangan Mu’tazilah. Kalau Mu’tazilah mengatakan bahwa
al-Qur’an adalahhawadits (baru) karena ia makhluk, maka menurut Asy’ari, al-Qur’an adalah qadim.
Hal ini didasarkan pada surat an-Nahl;40:“Sesungguhnya perkataan Kami
terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami mengatakan kepadanya, “Kun
(jadilah)” maka jadilah ia.”[7]
5.
Melihat Allah
Al-Asy’ari
mengatakan bahwa setiap yang ada, pasti dapat
dilihat.Oleh karena itu menurut i’tiqadkaum Ahlussunnah wal
Jama’ah (faham al-Asy’ariyah), Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala
manusia di akhirat kelak yaitu oleh hamba-hambaNya yang saleh yang dikaruniai
nikmat melihat Tuhan. Dalil-dalilatas kepercayaan ini antara lain firman Allah
dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23,yang artinya: “Wajah-wajah orang mukmin
pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan mereka melihat (memandang Tuhannya)”.Dan
juga terdapat dalam Kitab Hadis: “Dari Jarir bin Abdillah, beliau berkata:
Rasulullah SAW bersabda: Bahwasanya kamu akan melihat Tuhan kamu
senyata-nyatanya.” (HR. Imam Bukhari _ ( Sahih Bukhari Juz IV hal.200 ).[8]
6.
Keadilan Allah
Menurut
Asy’ari, keadilan
adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya.Allah tidak mempunyai kewajiban
apapun. Allah tidak wajib memasukkan orang entah itu kesurga ataupun ke neraka. Semua itu adalah
kehendak Allah mutlak.Jika Allah memasukkan seluruh manusia ke surga, bukan
berarti Allah tak adil, dan jika Allah memasukkan seluruh manusia ke neraka,
itu bukan berarti Allah zhalim.Allah adalah penguasa mutlak segala-galanya dan
tidak ada yang lebih kuasa. Allah dapat dan boleh melakukan apa saja yang di
kehendaki-Nya.
7.
Kedudukan Orang Berdosa Besar
Pada dasarnya al-Asy’ari dan
Mu’tazilah berpandangan yang sama bahwa Allah SWT itu adil. Hanya saja mereka
berbeda dalam memandang makna keadilan.Aliran
Mu’tazilah mengatakan bahwa
apabila pelaku dosa besar tidak bertaubat dari dosanya, meskipun ia mempunyai
iman dan keta’atan, tidak akan keluar dari neraka. Sebaliknya,mengatakan
siapa yang beriman kepada Allah SWT dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka
bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, tidak akan mempengaruhi imannya.
Adapun al-Asy’ari menolak ajaran menengah (manzilah
bainal manzilatain) yang dianut Mu’tazilah.Mengingat kenyataan bahwa iman
merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu
diantaranya.Jika tidak mukmin, berarti kafir. Oleh karena itu, al-Asy’ari
berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besardan meninggal dunia sebelum
sempat bertaubat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula berada
diantara keduanya, dan di akhirat terserah Allah SWT dengan beberapa
kemungkinan:
a. Ia mendapat ampunan Allah SWT dengan rahmat-Nya sehingga
pelaku dosa besar tersebut masuk surga.
b. Ia mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW.
c. Allah menghukum kepadanya dengan dimasukkan ke dalam
neraka sesuai dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian ia di masukkan ke
surga[9].
Beberapa pokok ajaran Asy’ariyah diatas menunjukkan bahwa
ia menolak paham-paham Mu’tazilah yang sebelumnya dianut olehnya. Semua
pendapat yang dilontarkannya diatas merupakan kebalikan dari pendapat
Mu’tazilah.
C. PerbandinganAjaranAsy’ariyah
dengan Mu’tazilah
Perbedaan paham tidak jarang menimbulkan perpecahan dan
pertikaian.Jangankan yang berbeda agama dan keyakinan, bahkan dalam satu agama
dan keyakinanpun, perbedaan pastilah muncul dan mewarnai dinamika pemikiran
keagamaan.Dua paham terbesar, yakni Asy’ariyah dan Mu’tazilah telah memberikan
pengertian dan pemahaman teologi yang berbeda.Walaupun dalam kenyataan yang ada
sekarang, aliran-aliran atau golongan-golongan yang terpecah tidak hanya dua
itu, namun pada dasarnya mereka tetap mengacu pada pokok pikiran dua aliran
ini.
Persaingan dan perang intelektual yang dilakukan
orang-orang yang berbeda pemahaman sebenarnya bukan merupakan sebuah
kejelekan.Bahkan dapat dikatakan kemajuan dan berkembangnya pemikiran tentang
keagamaan. Pemikiran-pemikiran baru akan lahir sedikit demi sedikit atas adanya
perdebatan. Namun, sekali lagi, seseorang tidak dapat menerima perbedaan itu
sebagai sebuah anugerah tetapi menimbulkan kecemasan dan ketakutan kepada pihak
lain, sehingga yang ia lakukan adalah menghancurkan mereka terlebih dahulu
sebelum (apabila) mereka menghancurkan kita. Mereka terkadang lupa tentang siapa
yang dihancurkannya, ada siapa diantara mereka, siapa yang berhak atas
kehidupan mereka. Bahkan mereka pun lupa apa sebenarnya yang menjadi perdebatan
awal sehingga mereka berseberangan.
Diantara dua faham Mu’tazilah dan Asy’ariyah, paling
tidak ada tiga garis besar perbedaan, yakni tentang Ketuhanan, Kekuasaan Tuhan,
dan Manusia.
1. Ketuhanan
Satu hal yang tidak menjadi perbedaan adalah “Tuhan
itu satu”.Perbedaan pengertian keesaan Tuhan pada dasarnya bukanlah perbedaan
dalam segi hakekat, tetapi perbedaan dimensi pandangan.Mu’tazilah dalam
memandang keesaan Tuhan memberikan pengertian tentang keesaan yang menyeluruh,
baik itu sifat, dzat, dan lain sebagainya. Mereka para tokoh Mu’tazilah
menafikan pengetahuan, kekuasaan, penglihatan, dan sifat-sifat dzat Allah yang
lain. Dalam pandangan mereka, Allah SWT senantiasa tahu, hidup, kuasa,
mendengar, melihat, dan qadim dengan diri-Nya sendiri.
Sedangkan Asy’ariyah memandang keesaan Tuhan
lebih kepada sebuah dzat yang tidak dapat terlepas dari sifat-sifat yang melekat
pada diri-Nya.Ia juga menyatakan bahwa Allah mengetahui, menghendaki, berkuasa
dan sebagainya disamping mempunyai pengetahuan, kemampuan, dan daya. Lebih jauh
lagi bahwa Allah memiliki sifat-sifat seperti mempunyai wajah, tangan, dan
kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara simbolis.
Sifat-sifat Allah itu unik karenanya tidak bias dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah itu sendiri, tetapi _sejauh
menyangkut realitasnya (haqiqah)_ tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan
demikian, tidak berbeda dengan-Nya[10].
2. Kekuasaan Tuhan
Tidak jarang kita terbentur dengan pemikiran-pemikiran
yang menyangkut tentang kekuasaan Tuhan.Allah SWT dengan sebutan Sang Penguasa
akankah sebagai “dalang” yang menggerakkan seluruh gerak dan kegiatan “wayangnya”.
Ataukah Allah hanya sebagai pencipta manusia dan potensinya saja, dan
membiarkan manusia berbuat sekehendak hatinya, tanpa harus “campur tangan”
dan hanya menunggu serta memberikan balasan yang sesuai ?
Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perbuatan yang
timbul dari Allah, dalam hubungan dengan hamba-Nya, ditentukan oleh
kebijaksanaan atas dasar kemaslahatan. Perbuatan Allah hanya terbatas pada
hal-hal yang dikatakan baik, ini bukan
berarti Allah tidak kuasa melakukan perbuatanburuk. Allah SWT tidak melakukan
perbuatan buruk karena Ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu.Perbuatan
Allah tidaklah bertujuan untuk kepentingan diri-Nya sendiri, tetapi untuk
kepentingan makhluk dan perbuatan-Nya itu selalu baik.
Lebih jelas Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasan Allah
sebenarnya tidak mutlak lagi.Ketidakmutlakan kekuasan Allah itu disebabkan oleh
kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia serta adanya hukum alam (Sunnatullah)
yang menurut al-Qur’an tidak pernah berubah.
Adapun menurut Asy’ariyah bahwa perbuatan Allah tidak
mempunyai tujuan.Allah SWT berbuat sesuatu hanya semata-mata atas kekuasaan dan
kehendak mutlak-Nya, dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lainnya.Selanjutnya
menurut Asy’ariyah, Kehendak Allah mesti berlaku.Jika kehendak Allah tidak
berlaku, itu berartiAllah lupa, lalai, dan lemah dalam melaksanakan
kehendak-Nya, sedangkan semua sifat lupa, lalai, apalagi lemah adalah
sifat-sifat yang mustahil bagi Allah SWT.Oleh karena itu, kekuasan Allah SWT
itu mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sesuka-Nya.
3. Manusia
Sebagaimana
telah disebutkan, bahwa manusia diciptakan menurut aturan dan takdir dari sang
pencipta. Ia tidak mempunyai kehendak dan kekuatan yang diandalkan untuk
melawan kehendak Ilahi. Lalu pertanyaan yang mungkin timbul selanjutnya, apakah
fungsi Tuhan menciptakan akal dan daya-daya yang dianugerahkan kepada manusia,
kalau toh ia harus mengikuti aturan Tuhan?Atau, sampai dimana manusia bergantung
pada Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya?
Menurut Mu’tazilah, bahwa manusia mempunyai daya yang
besar dan bebas. Oleh karena itu, manusialah yang menciptakn
perbuatan-perbuatannya.Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk.Keta’atan
dan kepatuhannya adalah kehendak dan kemauannya sendiri, daya (al-istitha’ah)
untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan dan tidak pula
menentukannya, namun kalangan mu’tazilah tidak memungkiri adanya ilmu azali
Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Dalil
yang majukan aliran mu’tazilah adalah al-Qur’an surat as-Sajdah ayat 7, yang
artinya: “ Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. “
Dalil ini mempertegas bahwa perbuatan manusia
bukanlah perbuatan Tuhan, karena diantara perbuatan manusia terdapat perbuatan
jahat, dan juga akan ada balasan bagi perbuatan
tersebut.
Adapun dalam paham Asy’ari dikenal
teori al-Kasb (perolehan) yaitu segala
sesuatu yang terjadi dengan perantaraaan daya yang diciptakan, sehingga menjadi
peolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk
melakukan perbuatan. Dengan kata
lain, jika manusia hendak mengadakan perbuatannya, maka pada saat itu pula
Tuhan menciptakan kesanggupan manusia untuk mewujudkan perbuatan. Dengan
perbuatan inilah ia mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak menciptakannya.Sebagai konsekuensinya,manusia kehilangan
daya dalam perbuatannya. Dalil yang dipakai oleh Asy’ari adalah al-Qur’an surat
as-Saffat ayat 96, yang artinya: “ Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu."
Ayat ini mengandung arti bahwa yang membuat kasb dan
perbuatan manusia adalah Allah SWT.Pada prinsipnya, aliran Asy’ariyah
berpendapat bahwa perbuatan manusia dan daya manusia adalah ciptaan Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang menyangkut pemahaman antara
Mu’tazzilah dan Asy’ariyah di atas, maka dapatlah ditarik beberapa garis besar
sebagai berikut:
1. Perkembangan
dan munculnya berbagai aliran-aliran disebabkan oleh adanya ketidakpuasan atas
ilmu-ilmu yang berkembang saat itu. Mu’tazilah dengan kekuatan rasionalnya dan
Asy’ariyah sebagai rivalnya, telah memberikan keberanian berfikir atas
ketidakpuasan keilmuan yang sedang berkembang. Di samping itu, aliran-aliran
tersebut telah berani membusungkan dada terhadap rongrongan yang berasal dari
luar kaum Islam.
2. Perbedaan
pandangan antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah sebenarnya disebabkan oleh
adanya perbedaan dimensi pandangan, yang apabila diteliti lebih jauh akan
merupakan buah pemikiran yang sangat luas.
3. Prinsip-prinsip
yang dipergunakan mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Di
satu sisi, mengajak manusia untuk hidup optimis dengan berbagai potensi yang
dimiliki, dan di pihak lain, mengajak orang untuk selalu percaya bahwa Tuhan
selalu hadir dalam setiap gerak dan nafas kita.
Demikianlah
pembahasan makalah ini, yang karena keterbatasan kami
dalam memahami dan mendalami materinya_meskipun sudah semaksimal mungkin segala
kemampuan pemakalah kerahkan dalam proses penyusunan makalah ini_kami hanya
bisa menyajikan sekelumit dari banyaknya pembahasan tentang “Al-Asy’ariyah”.
Akhir
kata kami sebagai penyusun makalah ini meminta ma’af bila ada kesalahan dan
kekeliruan disana-sini, dan sudi kiranya memberikan sumbang saran atau
kritikkan yang sifatnya membangun dan memotifasi demi kesempurnaan makalah ini.
Wallahu al-Muwaffiq ila Aqwam ath-Thariq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb..
DAFTAR PUSTAKA
·
Hamka,Sejarah Baru Islam; Muhamad Mahzum, Studi Kritis Peristiwa Tahkim, Bandung;Pustaka
Setia,1999
·
Drs. H.Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Cet
I, Bandung; Pustaka Setia, 1998
·
A.Hanafi,M.A, Pengantar
Theology Islam, Bandung; PT.Alhusna Zikra,1995
·
Rosihon Anwar, Abdul Rozak, Ilmu
Kalam, Cet II, Bandung; CV.Pustaka Setia,2003
·
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Cet IV, Jakarta;
Raja Grafindo Persada, 2000
·
Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta; UI Press,1972
·
Siradjuddin Abbas, 40 Masalah
Agama Jilid IV, Cet XVI, Jakarta;Pustaka Tarbiyah,1993
[1]Hamka,Sejarah Baru Islam; Muhamad Mahzum,
Studi Kritis Peristiwa Tahkim. (Bandung;Pustaka Setia,1999), hal.43.
[2]Terdapat beberapa pendapat dalam menetapkan tahun
lahirnya: Ibn Atsir, dalam karyanya al-Lubab, Cet.I, h.52, (270
H./885 M). Al-Makrizi, dalam al-Khutbath, Cet.III, h. 303, (270 H/881 M).
[3]Drs.
H.Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998),
Cet. I, hal.179.
[4] A.Hanafi,M.A, Pengantar Theology Islam, (Bandung: PT.Alhusna
Zikra,1995), hal.104.
[5] Rosihon Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung:CV.Pustaka
Setia,2003), Cet II, hal.120.
[6]Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), Cet. IV, hal.122.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press,1972), hal.69.
[8] Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid IV, (Jakarta:
Pustaka Tarbiyah,1993), Cet XVI, hal.341
[9]Drs. H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000), Cet.IV, hal.123-126
[10] Rosihon Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung:CV.Pustaka
Setia,2003), Cet II, hal.167
Tidak ada komentar:
Posting Komentar