Senin, 03 Februari 2014

Ikatan Persaudaraan Sesama Muslim_HADIS



“ IKATAN PERSAUDARAAN SESAMA MUSLIM ”
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadis
PAI 2  Kelompok I
Dosen Pengampu: DR. H. Mundzier Suparta, M.A


Disusun oleh:
Imron Rosyadi : 120100014
M. Zikri Azmy : 120100050
Rosihul Iman   : 120100022

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HIKMAH JAKARTA
FAKULTAS TARBIYAH
2013
Jl. Jeruk purut No.10 Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jaksel. 12560
Phone: (021) 7890521





Kata Pengantar
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT Pencipta dan Pemelihara Alam Semesta.Yang telah menerangi hambanya yang taqwa dengan cahaya yang medekatkan kepada-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah mata kuliah “Hadits” dengan judul “Ikatan Persaudaran Sesama Muslim”.
Shalawat serta salam mudah-mudahan selalu tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang mana beliaulah yang telah membawa umatnya dari jurang-jurang kemungkaran dan kemunafikan menuju bukit yang penuh dengan sinar keimanan Islam.
Kami sadar bahwa keberhasilan kami dalam menyusun makalah ini bukan hanya usaha kami namun karena adanya kerja keras dan kerja sama yang baik dalam pelaksanaan penyusunan makalah ini.
Akhir dari penutup pengantar ini penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya pada diri kami (penulis) dan umumnya bagi para pembaca. Amin..Amin yaa rabbal ‘alamin.
Jakarta, 12 April 2013
Penyusun

Kelompok I






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hendaklah setiap orang diantara kamu melakukan mu'amalah ukhuwah (persaudaraan) dengan sebenar-benarnya dengan cara menghendaki kebaikan untuk saudaranya sebagaimana menghendaki untuk dirinya, dan membenci kejahatan yang ada pada saudaranya seperti membenci kejahatan itu menimpa dirinya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah sesama orang mukmin itu bersaudara?
2.      Bagaimanakah yang dimaksud dengan “persaudaraan sesama muslim” ?
3.      Mengapa sesama orang mukmin tidak diperbolehkan saling mencela dan menzhalimi?
C.    Tujuan Masalah
1.       Kita bisa memahami makna “persaudaraan sesama muslim” dengan benar.
2.       Kita dapat mengetahui persaudaraan dalam Islam.
3.       Dapat mengetahui ahklak yang terpuji dan akhlak yang tercela.









BAB II
PEMBAHASAN
IKATAN PERSAUDARAAN SESAMA MUSLIM
A.    Memahami Makna Persaudaraan Sesama Muslim Dengan Benar
Musuh Islam tidak hanya membunuh, membantai dan memerangi kaum muslim. Tetapi, mereka juga mempunyai sindikat yang rapi namun menjijikkan. Mereka merekrut tokoh atau yang ditokohkan dari kalangan umat Islam untuk dididik di negeri mereka. Setelah dicekoki dengan syubhat dan pemikiran sesat, dengan rasionalisasi (dan pluralisasi) ajaran Islam dan dengan memberi hadiah titel serta janji dikembalikkanlah sang tokoh ini ke negara asalnya untuk menyesatkan saudara-saudaranya.
Sindikat ini bisa jadi lebih sadis daripada pembunuhan dan pembantaian, karena mungkin saja yang mereka bunuh masih bisa mempertahankan aqidah dan tauhidnya, tetapi penyesatan dan pemurtadan dari dalam bisa berakibat jutaan muslimin melepaskan agamanya tanpa mereka sadari.
Para tokoh yang menyandang beraneka gelar ini dengan leluasa mengelabuhi umat, bahkan ada yang dianggap wali dan dipertuhankan. Semua urusan diserahkan kepada mereka, apapun kata mereka akan menjadi pegangan awam. Salah satu istilah yang mereka kedepankan adalah “umat Islam itu bersaudara”.
Istilah yang mereka pinjam ini memang indah dan benar, tetapi mereka ingin menyesatkan umat dengan kalimat ini. Para tokoh penyesat umat yang ingin mendapat pujian dari orang Yahudi, Nasrani dan antek-anteknya, bahkan ada sebagian dari mereka yang mengatakan, “Orang Islam harus bersaudara dengan orang Yahudi dan Nasrani, karena agama mereka juga dari Allåh, karena para nabi bersaudara, mereka pun beribadah kepada Allah. Lantaran itu kita harus jalin ukhuwah dengan mereka, maafkan bila mereka marah dan membantai kaum muslimin, mereka itu ’kan saudara kita juga! Perlu dinasihati dan diselesaikan dengan baik. Kaum muslimin tak usah menyinggung kesalahan dan kezhaliman mereka.”
Selanjutnya, yaitu dari kalangan para da’i yang masih senang dengan bid’ah, kermusyrikan dan golongan, masing-masing berprinsip agar bisa menggaet jama’ah sebanyak-banyaknya dan agar tidak bubar, mereka berkomentar, “Tidak mengapa mereka mengamalkan bid’ah, syirik dan berpartai, yang penting kita jalin ukhuwäh islamiyah, karena mereka saudara kita. Tidak mengapa jalan yang mereka tempuh berbeda, ibaratkan pergi ke Jakarta, biarkan lewat pantura, atau pansela, yang penting sampai.”
Kata manis yang merusak ini disambut gegap gempita oleh sebagian umat karena yang bicara bukanlah lulusan anak SMU. Tetapi sebagian lagi bingung, apakah mungkin pemimpin kita menyerukan kepada kesesatan?
Berikut ini jawabannya :
Allah melalui firman-Nya :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS.Al-Hujurat:10)
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS. At-Taubah: 71)
Konsekuensinya, seorang mukmin akan mencintai segala bentuk peribadatan dan ketaatan kepada Allah semata dan mencintai orang-orang yang melakukan demikian. Konsekuensi lain adalah kebalikan dari itu. Seorang mukmin akan membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah dan maksiat, serta membenci orang-orang yang melakukan demikian.
Rasulullah SAW bersabda:
من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان
Artinya: “Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, maka imannya telah sempurna.”(HR. Abu Daud)[1]
Agar kita tidak salah dalam memahami makna persaudaraan (ukhuwah) dan tidak salah dalam penerapannya maka alangkah baiknya bila kita pelajari istilah ini. Kata “persaudaraan” dalam bahasa Arabnya adalah ukhuwah, dimana menurut bahasa berasal dari kata “akhun” artinya berserikat dengan yang lain karena kelahiran dari dua belah pihak, atau salah satunya atau karena persusuan. Lalu kata ini dipakai untuk perserikatan, persaudaraan kabilah, agama, hubungan antar manusia, kasih sayang, dan keperluan lainnya. (Lihat; Mufradat Alfazhil Qur’an, Al-Allamah Ar-Raghib Al-Ashfahani, hal.68).
B.  Orang Islam itu Bersaudara
Islam memerintahkan umatnya untuk bersatu padu. Perintah untuk bersatu ini ditujukan kepada setiap muslim di seluruh dunia, tidak hanya antar umat muslim di satu negara saja. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
 وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Qs. Al Imran: 102-103)
Dalam ayat di atas, jelas sekali bahwa perintah untuk bersatu padu ditujukan untuk setiap muslim. Bahkan, perpecahan diantara umat Islam adalah sumber malapetaka dan bencana. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لا تختلفوا ، فإن من كان قبلكم اختلفوا فهلكوا
Artinya: “Janganlah kalian berselisih! Sesungguhnya kaum sebelum kalian telah berselisih lalu mereka binasa.” (HR. Bukhari no. 2410)[2]
Sesungguhnya umat Islam yang beriman itu bersaudara, karena persaudaraan merupakan anugerah yang agung dan mahal dari Allah SWT. Dan ini merupakan nikmat dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya yang mukmin, sebagaimana dalam firman-Nya:
Artinya: Dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (pada masa Jahiliyah) saling bermusuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, sehingga dengan karunia-Nya kalian menjadi bersaudara. Dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya.” (Ali Imran: 103)
Sebagian ulama ahli tafsir berkata tentang firman Allah SWT dalam ayat tersebut: “Di dalamnya terdapat isyarat bahwa tumbuhnya ukhuwah (persaudaraan) dan mahabbah (kecintaan) antara kaum mukminin adalah semata-mata karena keutamaan dari Allah.”
Bahkan Rasulullah SAW menegaskan bahwa rasa ukhuwah dan mahabbah pada diri seorang mukmin haruslah benar-benar ditanamkan karena itu adalah salah satu ciri dari kesempurnaan iman seorang muslim sejati. Simak sebuah hadits berikut ini,
Dari Anas, Nabi SAW bersabda;
لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِاَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ. (متفق عليه)
Artinya: “Belum dianggap sempurna iman seseorang diantara kamu, sehingga ia menyintai saudara sesama muslim seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR.Bukhari-Muslim)[3]

C.  Orang-orang Yang Beriman Ibarat Sebuah Bangunan
Orang muslim itu diharamkan darah, harta dan kehormatannya. Nabi SAW pernah bersabda pada waktu haji Wada' yang disaksikan oleh sebagian besar sahabatnya, diantara pesan beliau adalah: "Sesungguhnya harta, darah dan kehormatan kamu haram atas kamu seperti kemuliaan harimu ini dalam bulanmu ini di negerimu ini." (HR.Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa darah, harta dan kehormatan seorang muslim tidak boleh diganggu. Banyak sekali nash yang menunjukkan tentang larangan ini dan tidak terbatas pada waktu dan tempat. Allah SWT telah menjadikan orang-orang mukmin itu bersaudara agar mereka saling kasih-mengasihi dan sayang-menyayangi. Sabda Nabi, dari Abu Musa, Rasulullah SAW bersabda;
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًاوَشَبَّكَ بَيْنَ اَصَابِعِهِ.
(متفق عليه)
Artinya: “Kehidupan orang-orang mukmin, satu dengan yang lainnya seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan yang satu dengan yang lainnya.” (HR.Bukhari-Muslim)[4]
Hadits di atas menggambarkan hakikat antara hubungan sesama kaum muslimin yang begitu eratnya. Hubungan antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling melengkapi. Bangunan tidak akan berdiri kalau salah satu komponennya tidak ada ataupun rusak. Hal itu menggambarkan betapa kokohnya hubungan antara sesama umat Islam. Dalam hadits lain disebutkan;
Dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah SAW bersabda;
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُمِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِإِذَااشْتَكى مِنْهُ عُضْوٌتَدَاعى لَهُ سَآ ئِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِوَالْحُمَّى.(متفق عليه)
Artinya: “Persaudaraan orang-orang mukmin dalam menjalin cinta kasih sayang diantara mereka seperti satu badan. Sewaktu ada anggota tubuh yang sakit, maka meratalah rasa sakit tersebut ke seluruh anggota tubuh, hingga tidak bisa tidur dan terasa panas.” (HR.Bukhari-Muslim)[5]
Dalam hadits lain dinyatakan bahwa hubungan dalam hal kasih sayang, cinta, dan pergaulan diibaratkan hubungan antara anggota badan, yang mana satu sama lain saling membutuhkan, merasakan, dan tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu anggota badan tersebut sakit, anggota badan lainnya ikut merasakan sakit.
Itulah salah satu kelebihan yang seharusnya dimiliki oleh kaum mukmin dalam berhubungan anatara sesama kaum mukminin. Sifat egois atau mementingkan diri sendiri sangat ditentang dalam Islam. Sebaliknya Islam memerintahkan umatnya untuk bersatu dan saling membantu karena persaudaraan seiman lebih erat daripada persaudaraan sedarah. Itulah yang menjadi pangkal kekuatan kaum muslimin, setiap muslim merasakan penderitaan saudaranya dan mengulirkan tangannya untuk membantu sebelum diminta yang bukan didasarkan atas “take and give” tetapi berdasarkan Illahi.
Salah satu landasan utama yang mampu menjadikan umat bersatu atau bersaudara ialah persamaan akidah. Ini telah dibuktikan oleh bangsa Arab yang mana sebelum Islam datang mereka sering berperang dan bercerai-berai tetapi setelah mereka menganut agama Islam dan memiliki pandangan yang sama baik lahir maupun batin, merka dapat bersatu.

D.  Allah Akan Menolong Hambanya Apabila Hambanya Menolong Terhadap Sesama
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَان فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَمُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Artinya: “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya. Jangan menzhaliminya dan jangan memasrahkannya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantunya. Dan barangsiapa yang memberikan jalan keluar dari kesulitan saudaranya, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari Muslim)
Ketika kita ingin sukses Dunia maupun Akhirat, kita intropeksi diri kita, apakah kita sudah menolong Allah, agar Allah menolong kepada kita.
Lalu, apa maksud Allah menolong kepada kita ?
Bukankah dunia ini milik-Nya?, itu adalah sebuah qias. Allah bukan meminta pertolongan kepada manusia, melainkan perintah halus kepada manusia, bahwa manusia hendaklah beribadah kepada-Nya ( Wajib ).
E.     Larangan Mencaci Maki Dan Membunuh Orang Islam
Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda;
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُه كُفْرٌ.(متفق عليه)
Artinya: “Mencaci-maki orang Islam berarti menyalahi agama (fasik), sedangkan memerangi orang Islam berarti kafir.” (HR.Bukhari-Muslim)[6]
Disebutkan dalam hadits lain;
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:
أحبكم إلي أحسنكم أخلاقا الموطئون أكنافا الذين يألفون ويؤلفون
Artinya: “Orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah orang yang paling baik budi pekertinya, yang lembut perangainya lagi murah hati yaitu mereka yang ramah lagi simpatik.”(HR.Tabrani)[7]
Dari kedua hadis di atas, apa yang difahami ialah larangan bagi seorang mukmin caci-mencaci apalagi sampai saling bunuh-membunuh sesama saudaranya. Karena dengan saling mencaci sesama muslim berarti fasiklah ia, dan apabila sampai membunuh saudara sesama muslim berarti kafirlah ia. Selain itu, makna yang tersirat dari hadis di atas adalah tentang tanggungjawab seorang muslim kepada saudaranya yang lain agar kita mendapat cinta Allah dan rasul-Nya.  Karena kewajiban seseorang muslim adalah saling mencintai, membantu, bersikap peduli dan juga mengasihi saudara seagamanya. Kisah-kisah para sahabat yang rela berkorban dan berjuang untuk para sahabat yang lainnya, semestinya itu menjadi contoh teladan kepada generasi Muslim zaman modern seperti saat ini.
Kemudian daripada itu, agar caci-mencaci di antara kita (sesama umat muslim) tidak terjadi atau setidaknya bisa diminimalisir, maka ada beberapa hal yang menurut kami patut diperhatikan dan tidak ada salahnya jika kita lakukan. Pertama, memohon kepada Allah SWT agar menghilangkan segala prasangka di hati terhadap sesama muslim lainnya. Kedua, jangan tinggalkan silaturrahim. Ketiga, saling berkirim kabar atau nasihat-menasihati walau hanya melalui sms. Keempat, jangan segan untuk bantu-membantu sesama muslim.
F.     Haram Menzhalimi Dan Perintah Menolak Kezhaliman
Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ ظَلَمَ قِيْدَشِبْرًامِنَ الْاَرْضِ طُرِّقَهُ مِنْ سَبْعِ اَرْضِيْنَ. (متفق عليه)
Artinya: “Barangsiapa berbuat aniaya/zhalim sekalipun hanya sejengkal tanah, pasti akan dibelenggu hingga tujuh petala bumi.” (HR.Bukhari-Muslim)[8]
Karena itu kita ummat muslim tidak boleh mendzhalimi saudaranya sesama muslim dalam bentuk apapun. Tidak boleh mendiamkan untuk tidak menolongnya jika melihat ia dizhalimi, karena setiap mukmin diperintahkan saling tolong-menolong.
Akhir-akhir ini telah menjalar di masyarakat kaum muslimin upaya menyelesaikan pertikaian dan perbedaan (ikhtilaf) dengan pengerahan massa. Memprovokasi kelompoknya untuk menyerang pada kelompok lain yang dianggap berbeda, sehingga terjadilah bakar-membakar, serang-menyerang dan lain sebagainya yang menimbulkan korban harta dan nyawa.
Hadis riwayat Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kamu saling membenci, saling mendengki dan saling bermusuhan, tetapi jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal seorang muslim mendiamkan (tidak menyapa) saudaranya lebih dari tiga hari. (Shahih Muslim No.4641)
Kemudian tela’ah hadits dari riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata; Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang menghunuskan senjata ke arah saudaranya, maka malaikat akan terus mengutuknya sampai ia melepaskannya meskipun dia itu adalah saudara kandungnya sendiri.(Shahih Muslim No.4741)
Harta siapakah yang dirugikan dengan terbakarnya berbagai sarana-prasana seperti masjid-masjid, gedung-gedung, sekolah-sekolah, pondok-pondok pesantren atau kantor-kantor dakwah? Nyawa siapakah yang menjadi korban dengan sikap arogansi dan barbarian di atas? Sebagian besar mereka adalah harta dan nyawa kaum muslimin.
Apa yang mereka pahami dari hadits-hadits di atas? Bukankah hadits tersebut menunjukkan tidak halalnya darah seorang muslim, tidak halalnya harta seorang muslim dan tidak halal menzhalimi seorang muslim.
Demikianlah diantara syarat-syarat ukhuwah yang harus dipenuhi oleh setiap muslim yang ingin mencapainya. Wallahu a'lam.












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya orang mukmin itu adalah bersaudara, jikala mereka berselisih damaikanlah, barang siapa yang melepaskan kesulitan orang Islam niscaya Allah SWT akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat kelak. Dan kita sebagai orang mukmin janganlah saling menganiaya, menghina dan memojokkan. Dan juga janganlah kita berprasangka buruk terhadap sesama umat Islam.
Setelah kita mengetahui betapa agung dan mahalnya nilai sebuah persaudaraan, maka kita harus berusaha semaksimal mungkin agar anugerah dari Allah SWT tersebut tetap terjaga dan terpelihara pada diri kita. Diantara usaha yang harus ditempuh agar persaudaraan sesama umat Islam tetap terjaga pada diri kita, maka kita perlu memperhatikan hak-hak dalam ukhuwwah. Hak-hak tersebut adalah:
1.      Hendaklah ia mencintai saudaranya semata-mata karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan bukan karena tujuan-tujuan duniawi. Jika seseorang mencintai saudaranya karena Allah SWT, maka kecintaan tersebut akan tetap lestari. Jika ia melakukannya karena tujuan duniawi, maka lambat laun kecintaan tersebut akan pupus di tengah jalan.
2.      Menjaga kehormatan dan harga diri saudaranya. Kehormatan seorang muslim terhadap muslim yang lainnya adalah haram secara umum. Realisasi dalam hal ini ialah seperti:
- Tidak menyebutkan ‘aib saudaranya, baik ketika ia hadir dihadapannya maupun ketika tidak ada.
- Tidak mencampuri urusan pribadinya.
- Menjaga rahasianya.
3.  Menjauhi prasangka buruk terhadap saudaranya. Allah SWT telah melarang perbuatan tersebut dalam firman-Nya (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa.” (Al-Hujurat: 12)
4. Menjauhi perdebatan dengan saudaranya. Sesungguhnya perdebatan akan menghilangkan sifat mahabbah (saling mencintai) dan persahabatan. Dan akan mewariskan kemarahan, dendam dan pemutusan persaudaraan. Maka meninggalkan sikap perdebatan merupakan tindakan yang terpuji.
5. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik kepada saudaranya.
6. Memaafkan atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh saudaranya. Setiap orang pasti memiliki kesalahan.
7. Merasa gembira dengan kenikmatan yang Allah Subhanallahu wa Ta’ala berikan kepada saudaranya. Allah SWT telah memberikan keutamaan dan kelebihan yang berbeda-beda pada setiap orang. Baik dalam hal kepemilikan harta, keilmuan, banyak melakukan amalan-amalan ibadah, kebaikan akhlaknya dan lain sebagainya. Kita patut merasa gembira dengan nikmat Allah yang diberikan kepada saudara kita baik dari sisi harta, ilmu, semangat dalam beribadah, dan lain-lain. Kita harus menghilangkan sifat hasad (iri,dengki) terhadap keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada saudara kita.
8. Saling membantu dengan saudaranya dalam perkara-perkara kebaikan. Sungguh Allah SWT telah memerintahkan dalam firman-Nya (artinya): “Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2)
9. Bermusyawarah dan bersikap lemah lembut terhadap saudaranya.
Maka kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua termasuk dari orang-orang yang saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta menjadikan persaudaraan kita semata-mata karena mengharap ridha-Nya. Dan semoga Allah SWT memberikan taufik-Nya kepada kita, karena sesungguhnya tidak ada daya dan upaya pada diri kita, kecuali kekuatan dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Ämïn yä Rabbal ‘Älamïn.
B.       Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, tentunya masih banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan sumbang saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Dan bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang menyusun makalah ini. Amin yaa robbal ‘alamin.
Wallahu al-Muwaffiq ila Aqwam ath-Thariq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb..
















DAFTAR PUSTAKA
·         Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI
·         Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il al-Bukhori, Shahih al-Bukhori, Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987.
·         Sulaimân bin Ahmad bin Ayûb al-Tabrânî, Mu‘jam al-Ausat, Kairo: Dâr al-Hadîs, 1996
·         Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
·         Ust.Alhafidh, Ust.Masrap Suhaemi,BA, Terjemah Riadhus Shalihin, Surabaya; Mahkota, 1986.


[1] Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), no.4681, hal.475.
[2] Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il al-Bukhori, Shahih al-Bukhori, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), no.2410
[3] Ust.Alhafidh, Ust.Masrap Suhaemi,BA, Terjemah Riadhus Shalihin, (Surabaya;Mahkota,1986), hal.210
[4]Ust.Alhafidh, Ust.Masrap Suhaemi,BA, Terjemah Riadhus Shalihin, (Surabaya;Mahkota,1986), hal.204
[5] Ust.Alhafidh, Ust.Masrap Suhaemi,BA, Terjemah Riadhus Shalihin, (Surabaya;Mahkota,1986), hal.204-205
[6] Ust.Alhafidh, Ust.Masrap Suhaemi,BA, Terjemah Riadhus Shalihin, (Surabaya;Mahkota,1986), hal.749
[7] Sulaimân bin Ahmad bin Ayûb al-Tabrânî, Mujam al-Ausat, (Kairo: Dâr al-Hadîs, 1996), vol. 7, no. 7697, hal. 400.
[8] Ust.Alhafidh, Ust.Masrap Suhaemi,BA, Terjemah Riadhus Shalihin, (Surabaya;Mahkota,1986), hal.194

Tidak ada komentar:

Posting Komentar