“ HUTANG PIUTANG ”
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah
PAI 2 Kelompok 8
Dosen Pengampu: Drs. Suali Fuad
Disusun oleh :
Halimah
Husni Kamal
Robi’atul
‘Adawiyah
Rosihul Iman
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HIKMAH JAKARTA
FAKULTAS TARBIYAH
2013
Jl. Jeruk purut
No.10 Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jaksel. 12560
Website: Www.staialhikmahjkt.ac.id
KATA
PENGANTAR
Segala puji hanyalah kepada Allah SWT yang
terus menerus tiada henti memberikan kita nikmat sehat wal a’fiat dan nikmat
panjang umur sehingga kita dapat terus belajar menunaikan kewajiban kita, yaitu
menuntut ilmu.
Shalawat dan salam tidak lupa kita sampaikan
kepada Uswatun Hasanah kita, Nabi
besar Muhammad SAW, kepada keluarga dan sahabatnya dan para tabi’it tabi’in, kepada guru-guru dan orang tua kita yang telah mengajarkan kepada
kita ilmu agama. Dengan agama itu kita dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk dan dengan itu pula kita dapat beribadah sebaik-baiknya.
Ibadah di dalam
agama yang kita anut (Islam) mempunyai
makna yang sangat luas,ada ibadah Maqdoh
dan ada ibadah Ghairu Maqdoh, dalam
ibadah Maqdoh yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah yang mempunyai hukum tetap yang tidak dapat diganggu
gugat, sedangkan
ibadah Ghairu Maqdoh yang mengatur hubungan manusia dengan manusia kadang kala
mempunyai hukum yang tidak tetap (flexibel) dalam artian melihat keadaan dan
kondisinya, maka segala peraturan yang mengatur hukum ini, disebut Fiqih.
Jakarta,17 Mei
2013
Hormat kami
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di dalam agama Islam untuk
mengatur segala ibadah, baik ibadah Maqdoh atau Ghoiru Maqdoh, para
ulama merujuk kepada suatu bidang ilmu yang kita sebut dengan Ilmu Fiqh. Di dalam Ilmu Fiqh banyak
diatur tata cara dan segala aturan tentang Muamalah, termasuk hutang piutang, yang hukum-hukum tersebut merujuk
juga kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam kehidupan sehari-hari ini,
kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di
antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah
keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya
hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat
mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk
berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan
bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam,
utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra
hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke
dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian
Hutang Piutang
itu?
2.
Apakah Hukumnya?
3.
Apakah Rukun dan Syaratnya?
4.
Apakah hutang boleh di bebankan kepada orang lain?
C.
Tujuan
1.
Untuk memenuhi tugas perkuliahan
dan bahan diskusi.
2.
Untuk mengetahui Pengertian dan hukum
dari hutang piutang.
3.
Untuk lebih memahami tentang permasalahan tersebut dan hal-hal yang
berkaitan dengannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hutang
Di dalam fiqih Islam, hutang
piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna
Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u
yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang
disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang
memberikan hutang. (Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)
Sedangkan secara terminologis
(istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta
(uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya
dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.
(Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah
Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim
Al-Abbadi, hal.29).
Atau dengan kata lain, Hutang
Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman
kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan
jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta
rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu
juta juga.
Hukum hutang piutang bersifat fleksibel tergantung
situasi kondisi dan toleransi. Pada umumnya pinjam-meminjam hukumnya sunnah bila
dalam keadaan normal. Hukumnya haram jika meminjamkan uang untuk membeli
narkoba, berbuat kejahatan, menyewa pelacur, dan lain sebagainya. Hukumnya
wajib jika memberikan kepada orang yang sangat membutuhkan seperti tetangga
yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat
yang diberikan oleh dokter, dsb.
B.
Dasar Hukum Al-Qardh
Menurut Sayyid Sabiq, tolong
menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan
menurut Arruyani, sebagaimana
dikutip Taqiy Addin bahwa ‘Ariyah hukumnya wajib. Memberikan hutang hukumnya sunnah, bahkan bisa menjadi wajib. Misalnya,
menghutangi orang yang terlantar atau yang sangat membutuhkannya. Tidak
diragukan lagi bahwa hal ini adalah suatu yang amat besar faedahnya terhadap
masyarakat, karena tiap-tiap orang dalam bermasyarakat biasanya memerlukan
pertolongan orang lain. Adapun
landasan hukumnya dari Al-Qur’an ialah;
وتعا ونوا على البر والتقوى ولاتعاونوا على الاثم
والعدوان( المئده: )
“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan
janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Al Maidah :2)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah
akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.
Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
انَّ اللهَ يَأ مُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّو اْلاَمَانَاتِ
إلى إَهْلِهَا ( النساء: )
“Sesungguhnya
Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya”. (Annisa:58)
Sebagaimana halnya bidang–bidang lain selain
dari Al-Qur’an, landasan
hukum yang kedua ialah Al-Hadist, dalam
landasan ini Al-Qardh dinyatakan sebagai berikut;
أَدِّ الأَمَنَةَ إلى مَنِ ائْتَمَنَكَ ولَاتَخُنْ
مَنْ خَانَكَ ( رواه ابوداود)
“Sampaikanlah
amanah orang yang memberikan amanah kepadamu janganlah khiyanah meskipun dia
khiyanah kepadamu”.
العَارِيَةُ مُؤَذَاةٌ ( رواه ابوداود)
“Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”.
ليس عَلَى الىمُسْتَعِرِ غَيْرِ الىمُغِلِّ ضُمَانٌ
ولاالىمُسْتَودِعِ غِيْرِ الىمُغِلِّ ضَمَانٌ (أخرجه دارقطني)
“Pinjaman
yang tidak berkhiyanat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang
menerima titipan yang tidak berkhiyanat tidak berkewajiban mengganti kerugian”.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ اللنَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَ
هَااَدَّى اللهُ عنه وَمَنْ أَخَذَ يُرِيْدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ(رواه
البخاري)
“Siapa
yang meminjam harta manusia dengan berkehendak ingin mengembalikan maka Allah
akan membayarnya dan barang siapa yang meminjam hendak melenyapkannya maka
Allah akan melenyapkan hartanya”.
Mempiutangkan sesuatu kepada seseorang berarti
telah menolongnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah melalui Ibnu Mas’ud: “Seorang
muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah
bersedekah kepadanya satu kali.”[1]
Diriwayatkan
dari Abu Rafi’, bahwa Nabi SAW
pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau
membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan
unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanyalah
sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda, “Berikan saja
kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam
mengembalikan hutang.”(HR. Bukhari dalam Kitab
Al-Istiqradh, bab istiqradh Al-Ibil (no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah,
bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600)
Namun bagi orang yang berhutang, haruslah
segera melunasinya jika ia telah mampu membayarnya. Karena jika menunda-nunda
pembayaran hutang padahal ia telah mampu membayarnya maka sama saja ia telah
berbuat zalim. Sebagaimana hadis Nabi;
مُطِلُّ الغَنِيِّ ظُلْمٌ (رواه البخارى ومسلم )
“Orang kaya yang memperlambat (melalaikan) membayar kewajibannya
(utang) adalah zalim (berbuat aniaya)”.
C.
Rukun dan Syarat Al-Qardh
Menurut Hanafiah, rukun al-Qardh adalah satu yaitu Ijab dan Kabul, tidak wajib
diucapkan tetapi cukup
menyerahkan pemilik kepada
peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan.
Menurut Syafi’iyah, rukun dari al-Qardh adalah sebagi berikut;
1)
Kalimat atau Lafazh “Saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang
menerima berkata “Saya mengaku berutang benda tersebut kepada kamu”,
syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda dalam jual-beli.[2]
2)
Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan dan Musta’ir yaitu orang yang
menerima utang, syarat dari Mu’ir adalah pemilik yang berhak
menyerahkannya,sedangkan syarat-syarat dari Mu’ir dan Musta’ir adalah;
·
Baligh, maka batal Ariyah yang dilakukan anak kecil.
·
Berakal,maka batal Ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang
tidur atau gila.
·
Orang tersebut tidak diMahjur (dibawah curatelle),maka tidak sah Ariyah
yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan(curatelle),seperti
pemboros.
3)
Benda yang di utangkan
diisyaratkan yaitu;
·
Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka
tidak sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan, seperti
meminjam karung yang telah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk
menyimpan padi.
·
Pemanfaatan itu dibolehkan, maka
batal ‘ariyah
yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’ seperti meminjam
benda-benda najis.
D.
Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti
peminjam memiliki hutang kepada
yang meminjami. Setiap hutang
wajib dibayarkan, sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayarkan utang bahkan
melalaikan pembayaran utang juga
termasuk aniaya dan dosa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
مُطِلُّ الغَنِيِّ ظُلْمٌ (رواه البخارى ومسلم(
“Orang
kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
Dari Abu Hurairah. RA bahwa Nabi SAW bersabda: "Ruh orang mati
itu tergantung dengan hutangnya sampai hutang itu dilunasi untuknya."
Riwayat Ahmad dan Tirmidzi. Hadits hasan menurut Tirmidzi.[3]
Dalam hadis lain
dinyatakan bahwa; Dari
Amar Ibnu al-Syarid, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang
mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan kehormatannya dan
siksanya." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits mu'allaq
menurut Bukhari dan shahih menurut Ibnu Hibban.[4]
Dari hadits di atas
telah dijlaskan bahwa Rasulullah SAW tidak menyukai penangguhan pembayaran
hutang orang kaya atau mampu untuk melunasi hutangnya, orang seperti itu
menurut Rasulullah termasuk orang yang zhalim bahkan lebih tegasnya Rasulullah
mengatakan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i orang mampu
yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan kehormatannya dan siksaannya.
Adapun jika melebihkan bayaran dari sejumlah
pinjaman itu diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang
berutang semata dan tidak atas dasar perjanjian sebelumnya. Hal ini merupakan nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulallah bersabda;
فَإِنَّ مِنْ خَيْرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ قَضَاءً
(رواه البخاري ومسلم)
“Maka sesungguhnya orang yang terbaik diantara kamu adalah orang yang
sebaik-baiknya dalam membayar utang”[5]
Diceritakan dalam suatu kisah Rasul pernah meminjam atau berutang
hewan, kemudian beliau
membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari yang beliau
pinjam. Lalu
beliau
bersabda;
خِيَاُركُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً (رواه احمد)
“Orang
yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan
yang lebih baik.
Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh
orang yang berutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan
itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasulullah bersabda;
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةٍ فهو وَجْهٌ مِنْ
وُجُوهِ الرِّبَا (أخرجه بيهقى)
“Tiap-tiap
piutang yang mengambil manfaat,maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara
riba”.
E.
Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjam
benda-benda pinjaman kepada orang lain, sekalipun
pemiliknya belum mengizinkannya jika
penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian
pinjaman.
Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh
memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama
peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah
menyewakan barang pinjaman tanpa seizin
pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain kemudian
rusak ditangan kedua, maka pemilik
berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam
keadaan seperti ini, lebih baik
pemilik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang
ketika barang itu rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah meminjam barang-barang pinjaman kemudian
barang tersebut rusak, ia
berkewajiban menjaminnya baik
karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian
menurut Ibnu Abbas, Aisyah, Abu
Hurairah, Syafi’i dan
Ishak dalam Hadist yang diriwaytkan oleh Samurah, Rasulallah
bersabda;
على اليَدِ ما أَخَدَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ
“Pemegang
berkewajiban menjaga apa yang dia terima,sehingga ia mengembalikannya”.
Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa peminjam
tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya kecuali
karena tindakannya yang berlebihan. Sebagaimana
sabda Rasulallah SAW;
ليس
على الىمُسْتَعِيْرِ غير الىمُغِلِّ ضَمَانٌ ولاالىمُسْتَودِعِ غير الىمُغِلِّ ضَمَانٌ
( اخرجه الدارقطني)
“Peminjam
yang tidak berkhiyanat tidak berkewajiban mengganti kerusakan,orang yang
dititipi yang tidak berkhiyanah tidk berkewajban mengganti kerusakan”.[6]
BAB
III
A.
Pengertian Hiwalah (pemindahan hutang)
Menurut bahasa yang dimaksud dengan Hiwalah ialah al-Intiqol dan at-Tahwil artinya memindahkan. Maka
menurut Abdurrahman al-Jaziri
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah
menurut bahasa ialah:
النَقْلُ مِنْ مَحَلِّ اِلَى مَحَلِّ
"Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain”
Sedangkan pengertian Hiwalah menurut istilah, para ulama
berbeda-beda dalam mendefinikannya, antara
lain sebagai berikut:
1-
Menurut Hanafiah yang dimaksud Hiwalah ialah:
نَقْلُ الىمُطَالَبَةٍ مِنْ ذِمَّةٍ الىمَدْيُونِ
الى ذِمَّةِ الىمُلْتَزَمْ
“Memindahkan
tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.”
2-
Al-Jaziri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah
ialah:
نَقْلُ الدَيْنِ مِنْ ذِمَّةِ الى ذِمَّةٍ
“Perpindahan
utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
3-
Syihab Addiin Al-Qalyubi
berpendapat yang dimaksud dengan Hiwalah ialah:
عَقْدُ يَقْتَضِى اِنْتِقَالَ دَيْنِ مِنْ ذِمَّةٍ
الى ذِمَّةٍ
“Aqad
yang menetapkan pemindahan beban hutang dari seseorang kepada orang lain”.
4-
Muhammad Syatha Ad-Dimyati
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah ialah”
عَقْدٌ يَقْضِي تَحْوِيْلَ دَيْنِ ذِمَّةِ الى
ذِمَّةٍ
“Aqad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang
menjadi beban orang lain”
5-
Ibrahim Al-Bajuri
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah ialah:
نَقْلُ الحَقَّ مِنْ ذِمَّةِ الىمُحِيْلِ الى
ذِمَّةِ المىُحِالِ عَلَيْهِ
“Pemindahan
kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”
6-
Menurut Taqiyuddin yang
dimaksud dengan Hiwalah ialah;
اِنْتِقَالُ الدَّيْنِ مِنْ ذِمَّةٍ الى ذِمَّةٍ
“Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”
7-
Menurut Sayid Sabiq yang
dimaksud Hiwalah ialah: Pemindahan
dari tanggungan Muhil menjadi tanggungan Muhal alaih.
8-
Menurut Idris Ahmad, Hiwalah
ialah semacam Aqad
(ijab kabul) pemindahan
utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana
orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.
B.
Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut Hanafiah, rukun
Hiwalah hanya satu yaitu Ijab dan kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan
dengan yang menerima hiwalah. Dan syarat-syaratnya
ialah:
·
Orang yang memindahkan utang (muhil) adalah orang yang berakal,maka
batal hiwalah yang dilakukan Muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
·
Orang yang menerima hiwalah( rah Addayn) adalah orang yang
berakal,maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
·
Orang dihiwalahkan ( mahal alaih) juga harus orang berakal dan
disyaratkan juga dia meridhoinya.
·
Adanya utang Muhil kepada Muhal alaih.
Menurut Syafi’iyah, hiwalah itu
ada empat yakni sebagai berikut:
·
Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan
utang.
·
Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan yakni
orang yang mempunyai utang kepada muhil.
·
Muhal alaih, yaitu orang
yang menerima hiwalah.
·
Shighat hiwalah, yaitu ijab dari
Muhil dengan kata-katanya”Aku hiwalahkan
utangku yang hak bagi engkau kepada sipulan”. Dan
kabul dari muhtal dengan kata-katanya “Aku
terima hiwalah engkau.”
Sementara itu syarat-syarat
hiwalah menurut Sayid Sabiq adalah sebagai berikut:
·
Relanya pihak Mihil dan Muhal tanpa
Muhal alaih, bagi Muhal alaih rela maupun tidak rela, tidak
mempengaruhi kesalahan hiwalah. Ada juga yang mengatakan bahwa Muhal tidak
diisyaratkan rela, yang harus rela
adalah Muhil sebagaimana sabda Nabi ;
إذا أُحِيْلَ أَحَدُ
كُمْ على مَلِئٍ فَلْيَتِّعْ
“Dan jika seseorang diantara kamu di
hiwalahkan kepada orang yang kaya,maka terimalah”
·
Samanya kedua hak baik
jenis maupaun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas
dan kuantitasnya.
·
Setabilnya Muhal alaih, maka
penghiwalahan kepada orang yang tidak mampu membayar utang adalah bata
Hak tersebut diketahui secara jelas.
C.
Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan
sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andai kata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau
meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini
adalah pendapat Ulama Jumahur.
Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah menipu
muhal ternyata muhal alaih orang fakir yang tidak mempunyai sesuatu apapun
untuk membayar maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang
yang menghiwalahkan utang kepada orang lain kemudian muhal alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban maka muhal
tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat
bahwa dalam keadaan muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia
maka orang yang mengutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Utang piutang adalah
aqad untuk memberikan sesuatu benda yang ada harganya atau berupa uang dari
seseorang kepada orang lain yang memerlukan dengan perjanjian orang yang
berutang akan mengembalikan dengan jumlah yang sama. Hukum utang piutang adalah mubah (boleh). Adapun rukun Utang Piutang: Lafaz (kalimat mengutangi), yang berpiutang dan
yang berhutang, barang yang dihutangkan
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam utang piutang
tentang nilai sopan santun yang terkait di dalamnya,
sebagai berikut;
·
Sesuai dengan QS; Al-Baqarah:282, utang
piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan
dua orang saksi laki-laki atau satu laki-laki dan dua orang wanita. Pada masa ini
tulian tersebut dibuat di atas
kertas bersegel atau bermatrei.
·
Pinjaman hendaknya dilakukan
atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai dalam hati akan
membayarnya/mengembalikan
·
Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada
pihak berutang, bila peminjam
tidak mampu mengembalikan, maka
yang berpiutang hendaknya membebaskannya.
·
Pemberi hutang atau pinjaman
tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Hutang piutang dapat memberikan banyak
manfaat / syafa’at kepada kedua belah pihak. Hutang piutang merupakan perbuatan
saling tolong menolong antara umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah
SWT selama tolong-menolong dalam kebajikan. Hutang piutang dapat mengurangi
kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah serta dapat memperkuat tali
persaudaraan kedua belah pihak. Bagi pihak yang berutang bila sudah mampu untuk mengembalikan, hendaknya
mempercepat pembayarannya karena lalai dalam pembayaran hutang berarti berbuat zalim
bahkan lebih tegasnya
Rasulullah mengatakan orang mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan
kehormatannya dan siksaannya, seperti yang dinyatakan pada hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.
Daftar Pustaka
·
Dr.H.Hendi
Suhendi,M.Si, Fiqih
Muamalah, Jakarta; Raja
Grapindo Persada, 2005.
·
H.Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung;
Sinar Baru Algensindo, 2005, cet.38.
·
Al-Asqalany, Ibnu Hajar, Buluqhul Maram
Min Adillatil Ahkaam, Tasikmalaya; Pustaka Al-Hidayah, 2008
Apakah Anda membutuhkan kredit yang mendesak?
BalasHapus* Transfer Sangat Cepat dan Instan ke rekening bank Anda
Bayar kembali bulan setelah Anda mendapatkan pinjaman di bank Anda
akun bank
* Suku bunga rendah 2%
* Pembayaran jangka panjang (1-30) Tahun Panjang
* Pinjaman fleksibel dan gaji bulanan
*. Berapa lama untuk membiayai? Setelah mengajukan pinjaman
Anda mungkin mengharapkan jawaban awal kurang dari 24 jam
pembiayaan dalam 48 jam setelah menerima informasi yang mereka butuhkan
Dari para kru Di perusahaan pinjaman ROSSA STANLEY, kami adalah perusahaan pembiayaan yang berpengalaman yang menyediakan fasilitas pinjaman yang mudah, tulus, serius, korporasi, hukum dan publik dengan bunga 2%. Kami memiliki akses ke koleksi uang tunai untuk diberikan kepada perusahaan dan mereka yang memiliki rencana untuk memulai bisnis tidak peduli seberapa kecil atau besar, kami memiliki uang tunai. Yakinlah bahwa kesejahteraan dan kenyamanan Anda adalah prioritas utama kami, mengapa kami di sini untuk mengurus pemrosesan pinjaman Anda.
Hubungi perusahaan pinjaman yang sah dan dapat dipercaya dengan rekam jejak layanan yang memberikan kebebasan finansial kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Untuk informasi lebih lanjut dan pinjaman yang diminta untuk mengatur bisnis Anda, beli rumah, beli mobil, liburan, hubungi kami melalui,
E-mail resmi: rossastanleyloancompany@gmail.com
Instagram resmi: Rossamikefavor
Twitter Resmi: Rossastanlyloan
Facebook resmi: rossa stanley mendukung
CSN: +12133153118
untuk respon cepat dan cepat.
Silakan mengisi formulir aplikasi di bawah ini dan kami akan menghubungi Anda lagi, Kami tersedia 24/7
DATA PEMOHON
1) Nama Lengkap:
2) Negara:
3) Alamat:
4) Jenis Kelamin:
5) Status Perkawinan:
6) Pekerjaan:
7) Nomor Telepon:
8) posisi di tempat kerja:
9) Penghasilan Bulanan:
10) Jumlah Pinjaman yang Dibutuhkan:
11) Jangka Waktu Pinjaman:
12) nama facebook:
13) Nomor Whatsapp:
14) Agama:
15) Tanggal lahir:
SALAM,
Mrs.Rossa Stanley Favor
ROSSASTANLEYLOANCOMPANY
Email rossastanleyloancompany@gmail.com